Thursday, January 03, 2013

Masa Kecil Hanya Sekali

Harian Suara Merdeka tanggal 3 Januari 2013 Pagi hari, 22 Desember 2012, status di media sosial ramai mengungkapkan kecintaan kepada sosok ibu.Yah..., hari itu memang Hari Ibu. Sambil membaca status, yang terbayang di benak justru saat ibu mencubiti paha kalau saya melakukan hal yang dinilai keterlaluan. Teringat juga kalau tempat tidur tidak dirapikan karena bangun kesiangan dan terburu-buru be-rang­kat sekolah. Sepulang sekolah kasur tipis tempat saya tidur sudah digulung dan dimasukkan kolong dipan. Saya harus merapikan sendiri kalau mau tidur. Itulah pendidikan ibu ketika saya tidak merapikan tempat tidur. Pagi itu, saya geli sendiri kalau mengingat hal tersebut. Ibu saya sehat-sehat saja, saat ini usianya 86 tahun. Acara editorial TV pagi itu juga membahas tentang Hari Ibu. Salah satu pemirsa berbagi masukan pengalaman tentang Jepang. Negara maju yang biasanya diidentikkan dengan wanita karier, ternyata tak sepenuhnya berlaku di sana. Jepang maju justru karena mayoritas kaum wanitanya ''berkarier'' di rumah tangganya. Dengan latar belakang pendidikan tinggi, kaum wanita di Jepang mencurahkan tenaga, waktu, dan pikiran untuk mendidik buah hati secara berkualitas. Lahirnya generasi berkualitas ini menjadi faktor penentu majunya Jepang, bukan karena kaum wanitanya berkarier. Merenungkan masukkan itu, ternyata ada benarnya juga. Tidak mengecilkan peran baby sister. Banyak dijumpai baby sister yang dengan caranya menyayang anak asuh sepenuh hati, bak anaknya sendiri. Namun sebagus-bagusnya baby sister, sebaiknya tetap harus ada pendampingan melekat orang tua. Sosok ibu dan ayah tetap tak tergantikan sepanjang masa. Bah-kan, cubitan ibu yang berpendidikan biasa saja, tetap mendapat tempat terhormat di hati. Pesannya tetap saya ingat jelas hingga kini. Jadi, kalau orang tua berpendidikan tinggi, lulusan terbaik, sungguh sayang kalau ilmunya tidak diberikan langsung ke buah hatinya. Penghasilan menjadi masalah yang menantang banyak keluarga muda setelah berlalu masa manisnya pengantin baru. Kehadiran buah hati yang disambut suka cita segera memerlukan langkah-lang­kah nyata, cerdas, berani, untuk mewujudkan doa-doa indah yang fasih dipanjatkan. Setahun setelah menikah, anak pertama lahir. Kami berdua awalnya bekerja, bahkan gaji istri lebih banyak. Kalau ditinggal bekerja anak bersama baby sister. Meski berat hati anak harus ditinggal dengan sosok yang notabene baru saya kenal singkat. Saat akan berangkat kerja berboncengan dengan istri, anak saya dengan digendong baby sister melambaikan tangan kecilnya. Saya menguatkan hati untuk langsung pergi meninggalkan rumah, tak menengok lagi. Akhir­nya saya tawarkan ke istri untuk berhenti kerja. Pertimbangannya, agar semua tidak terlalu capai. Saya sendiri tidak sampai hati meninggalkan anak dengan baby sister. Cukup saya saja yang kerja keras. Untuk meyakinkan saya bilang ke istri, masa kanak-kanak hanya sekali, anak butuh didampingi ibu, bukan baby sister. Soal gaji? Dengan (sok) yakin saya bilang ''tenang saja pasti cukup''. Istri saya setuju dan akhirnya berhenti bekerja. Kebetulan lagi, anak punya masalah kesehatan yang (saat itu) cukup serius. Pergumulan baru harus saya jalani, sangat tidak mudah memang, karena harus terus melangkah maju di saat serba dilematis dan minimalis. Namun, hati terasa lebih tenang dan ikhlas. Sekian tahun berlalu, saya bersyukur keputusan kami ternyata tepat. Ternyata selalu ada jalan keluar yang mencerahkan, meski di awalnya menimbulkan tanda tanya hingga protes. Yang paling penting, kami dan anak-anak tumbuh sehat jasmani, rohani, mental, berkarya, berprestasi, dengan cara yang dipilih. Masa kanak-kanak hanya sekali dan tak pernah kembali. Sedang-kan uang bisa dicari. Kapan saja, bahkan pada saat-Nya uang yang akan mencari kita. Semua akan indah pada waktu-Nya. Purnomo Iman Santoso-EI Villa Aster II Blok G No 10 Srondol, Semarang 50268


0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home