Saturday, January 05, 2013
Harian Suara Merdeka tanggal 5 Januari 2013
Dulu, sekitar tahun 1970-an, makan tiwul, nasi jagung, nasi merah, sudah biasa. Beras, sekali pun kualitas biasa (agak keras) relatif terbatas. Telur, daging ayam, masih merupakan menu spesial yang jarang. Itupun dari ternak ayam sendiri.
Lauk pauk masih didominasi sayur lodeh, oseng-oseng kangkung, oseng uceng, ikan asin, tahu dan tempe goreng. Kadang-kadang bisa menikmati wader (ikan kali), juga udang kali kecil-kecil. Kalau mengingat masa itu, warung makan apalagi restoran, masih sangat jarang. Penyakit akibat kekurangan makan (gizi) menjadi hal biasa. HO dan busung lapar, kaki gajah, mudah dijumpai.
Sekarang situasi berbalik. Makanan berlimpah, restoran hingga warung makan menjamur. Anak-anak juga diserbu aneka makanan kecil. Sejak dini, panca indera anak telah dikepung makanan pabrikan dengan kemasan yang menggoda mata plus beragam iming-iming hadiah.
Anak-anak dibina dari awal oleh industri makanan untuk menjadi konsumen potensial makanan instan hingga fast food (termasuk junk food) melalui iklan TV yang ditonton tiap hari tanpa pendampingan orang tua yang sibuk bekerja. Berbagai makanan anak seringkali tak jelas jaminan kesehatannya. Ironisnya, orang tua sering tak jeli terhadap risiko produk makanan pabrikan tersebut. Ada pula makanan anak-anak berbentuk jely.
Satu kisah nyata, anak balita yang akhirnya mengalami kondisi fatal gara-gara disuapi makanan berbentuk jely. Makanan tersebut masuk ke saluran pernafasan, si balita belum mampu tersedak, akhirnya meninggal. Ungkapan rasa sayang yang berakhir tragis.
Anak ABG tubuhnya melar, bongsor, hingga obesitas. Banyak ABG hobinya nongkrong di gerai makanan cepat saji, baik saat acara ulang tahun maupun memang karena sudah ”kecanduan” fast food. Banyak dijumpai anak sekarang yang tak suka makan sayur dan buah. Kegurihan bumbu-bumbu masak makanan pabrikan telah mematirasa indra pengecap lidahnya untuk makanan natural (sayur/buah).
Khusus kaum hawa, mereka punya cara instan untuk melangsingkan tubuh indahnya. Dari totok jari, tusuk jarum, suntik, senam, suite khusus yang (konon) bisa melangsingkan tubuh hingga aneka obat penurun berat badan. Menyiksa diri dan rela membayar mahal.
Diet apa pun bentuknya, sebenarnya tidaklah berarti bila ”eat habit”-nya masih tetap memanjakan lidah. Diet hanya akan menjadi gaya hidup pribadi yang suka cara-cara instan untuk memuja kemolekan tubuh, meski sebenarnya mengabaikan cara hidup sehat natural karena pola makan dan pola hidup yang cenderung ber-”investasi” untuk aneka potensial penyakit.
Berbeda dari dulu. Sekarang, makanan justru menjadi penyebab aneka penyakit. Dulu kurang makan menjadi penyebab penyakit, sekarang aneka penyakit muncul akibat melimpahnya aneka makanan.
Membenahi kebiasaan makan di tengah arus deras serbuan makanan produk olahan teknologi pangan, jauh lebih masuk akal sehat. Saatnya disiplinkan diri, tanamkan kebiasaan makan yang sehat. Bahkan sejak dini, demi masa depan kesehatan anak-anak kita yang masih panjang.
Purnomo Iman Santoso-EI
Villa Aster II Blok G No 10
Srondol, Semarang 50268
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home