Friday, October 04, 2013

Bahaya Berkendara Di Usia Belia

Harian Suara Merdeka tanggal 4 Oktober 2013

Tahun 1975, siswa yang ke sekolah umumnya bersepeda, jalan kaki, atau naik becak. Sepeda motor jarang, bisa dihitung dengan jari. Saya termasuk yang berjalan kaki bersama teman lain sekolah, dan merupakan kegembiraan tersendiri. Di antara teman sebaya itu, ada yang perkembangannya di atas rata-rata. Salah satunya sudah berpacaran, yang lain ngebet cari pacar. Keduanya punya sepeda motor. Saya bisa naik motor juga karena diajari mereka. Mungkin sebagai balas jasa karena saat mereka “apel”, saya selalu diajak untuk jadi penggembira. Saya setuju saja, karena sedang senang-senangnya bersepeda motor.
Kendaraan bermotor masih sedikit, sehingga bisa mengendarai motor di usia belia, menambah percaya diri. Meskipun kelalaian sering terjadi. Saat hujan pernah jatuh tergelincir ketika melintas Jl Sudirman di depan Gedung Isola Purwokerto. Penyebabnya, di situ (dulu) ada rel kereta api melintang jalan. Waktu hujan rel licin, tapi karena kecepatan tak disesuaikan, akhirnya terpeleset, jatuh, dan akibatnya lumayan babak belur.
Ketika di daerah Banyumas, kalau tak salah di Desa Tunggangan, pernah ada sirkuit untuk motor cross. Kagum terhadap crosser top Bandung Sunggoro, Soma bersaudara, dan lainnya, bersama teman yang punya motor trail Yamaha Enduro ikut berangkat ke lokasi. Di jalanan masih percaya diri. Di sirkuit, terbayang beraksi ala crosser beneran. Begitu di arena yang semestinya, tidak ada yang mau mengalah. Tiga kali mencoba, akhirnya stop. Sadar, ternyata ”keberanian” saat di jalan itu semu, karena pengendara yang lain mengalah.
Suatu senja awal tahun 1980, pernah menemukan dompet beserta isinya di perempatan bioskop Srimaya. Ketika kami antarkan ke rumahnya, ternyata pemilik dompet tersebut seorang polisi. Saat berpamitan kami ditanya: Kamu punya SIM? Kami jawab, “belum pak”. “Jangan stir ya kalau belum punya SIM,” pesannya.
Menjelang ujian akhir SMA, petang hari berboncengan Yamaha bebek biru, kami mencari makan. Tak diduga, persis di depan sekolah ternyata ada razia polisi. Karena tak punya SIM, motor pun ditahan. Dalam kebingungan, karena motor milik teman, teringat pak polisi yang dompetnya jatuh. Malam itu juga, segera ke rumah beliau, menceritakan kejadian yang baru terjadi dan mohon ditolong.
Bukannya mendapat simpati, malah dimarahi habis-habisan. Esok hari diminta menemui beliau di kantornya. Dipertemukan polisi bagian terkait, dipesan tak boleh berkendara kalau belum punya SIM, apalagi lari kalau ada razia. Kami dianjurkan ikut ujian SIM. Setelah mengikuti prosedur yang berlaku, motor pun boleh dibawa pulang.
Kini, sepeda motor mudah didapat. Tinggal telepon diantar, pembayaran boleh diangsur, tak harus tunai. Tapi, jujur, ngeri. Tak apa bayar kos daripada bersepeda motor saat lalu lintas padat seperti sekarang. Bagi anak usia belia, mungkin terampil dalam mengendarai motor, namun emosinya masih labil. Berbahaya!
Saya sempat berdebat, namun bersyukur anak-anak mau mengerti. Ternyata banyak juga yang tak dibelikan sepeda motor oleh orang tuanya. Kalau bepergian, saat pertandingan basket, pentas musik, berombongan iuran untuk naik angkot/taksi. Kompak jadinya. Kendaraan bermotor di tangan yang tak tepat, bukannya jadi sarana transportasi, tapi bisa jadi mesin pembunuh yang mengerikan. Purnomo lman Santoso-El Villa Aster II Blok G No 10 Srondol, Semarang 50268

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home