Wednesday, September 18, 2013

Menakut-nakuti

Harian Suara Merdeka tanggal 18 September 2013


Ketika saya kecil, ibu selalu membiasakan buang air kecil sebelum tidur dan membangunkan tengah malam untuk kembali buang air kecil. Pola ini membuat anak-anak tidak ada yang ngompol, karena alarm kebelet otomatis akan membangunkan kita turun dari tempat tidur untuk kencing.
Saat saya kecil posisi tidur persis di depan pintu tembusan ke kamar belakang. Pintu tersebut selalu dikunci, karena dihuni paman. Masih ada ruang sempit antara pintu tembusan dan tempat saya tidur. Karena berbadan kecil, saya tidur di box, diberi kelambu karena masih banyak nyamuk. Ada kejadian yang tak terlupakan hingga kini.
Tengah malam, seperti biasa saya terbangun karena kepingin kencing. Sebetulnya mau turun, tapi samar-samar di balik kelambu yang menghadap pintu tembusan, kok ada dua sosok yang berdiri (padahal sempit). Saya perhatikan sosok itu, kemudian antara rasa ’’kebelet’’ dan takut, saya memiringkan badan menghadap sosok tersebut. Selanjutnya saya menurunkan celana dan memberanikan pelan-pelan menyingkap kelambu bagian bawah dan saya kencing ke arah ’’orang-orang’’ tersebut.
Aneh, orang tersebut hilang. Kemudian saya turun dari tempat tidur dan kebetulan ayah juga bangun. Karena ada air kencing di lantai, ayah mengira saya ngompol. Saya ceritakan kejadian itu. Ayah saya heran, setelah dicek kasur tipis saya tidak basah, yang basah justru pintu tembusan. Sampai akhirnya menyuruh saya tidur lagi setelah menggeser box menjauh dari pintu tembusan.
Esok harinya saya tanya ke ayah. Semalam itu setan ya pa? Ayah saya balik bertanya, apa? Setan? Setan itu ’’dibeset isine ketan’’ maksudnya kue lemper (kalau makan daunnya dikupas dulu). Selanjutnya saya diminta selalu berdoa kepada Tuhan kalau mau tidur. Biar kalau tidur ditemani Tuhan. Saya terpukau cara penjelasan ayah, sehingga rasa takut yang menyergap semalam sirna. Malam-malam berikut tetap tidur di box, posisi kembali di depan pintu tembusan, berdoa sebelum tidur, pulas, bangun tengah malam kalau kepingin kencing, tanpa peduli lagi ada/tidak bayang-bayang di belakang kelambu. Luar biasa memang, cara ayah saya mendidik anak-anaknya untuk tidak jadi penakut.
Beranjak dewasa, dari cerita lingkungan, saudara, hingga pengobeng/tukang batik (karena orang tua saya dulu pembatik), diketahui bahwa rumah yang kami huni memang dikenal sering ada kejadian aneh. Namun rasanya sudah biasa-biasa saja.
Era sekarang, perkembangan tidak menarik terjadi. Misalnya kejadian saat penertiban PKL di Pasar Tanah Abang. Sempat ada pihak yang mengembuskan info bahwa sekian puluh tahun lalu pernah terjadi kerusuhan di Pasar Tanah Abang. Cukup? Tidak. Kantor Wagub DKI didatangi orang-orang yang mengaku massa PKL, memaksa bertemu dengan Wagub dengan penuh amarah dan sumpah serapah.
Cukup? Masih ada lagi. Terjadi perang opini yang melibatkan sosok yang berpredikat wakil rakyat dengan bahasa yang santun, penuh kemasan, namun terselip pesan ’’awas loe kalau macam-macam ame gue’’, meski tak ada yang menuduh. Dari kota lain, sekian tahun lalu, ada cerita pengamen marah-marah. Uang logam Rp 50 yang diberikan secara baik-baik ke si pengamen, dilempar balik ke pedagang wanita yang berusia 77 tahun. Padahal jual mi instan satu kardus, waktu itu, untungnya hanya Rp 50. Cukup? Tidak. Dengan ’’jantan’’ masih ada umpatan, mau rusuh lagi ya? Mau dibakar-bakar lagi ya? Kebetulan di kota tersebut sempat terjadi kerusuhan rentetan kejadian rusuh tahun 1998.
Tujuan semua perilaku itu adalah untuk menakut-nakuti. Herannya, para pelaku itu sepertinya kebal hukum.Tak heran, menakut-nakuti seolah jadi model, bahkan profesi baru. Jalan raya, pedagang, wagub, mau diperlakukan sesukanya. Seolah mereka sebagai miliknya. Perilaku mereka sudah menjurus possesive (orang yang suka menguasai). Kepantasan sudah diabaikan. Ada dalih segudang untuk pembenar. Dari berdasarkan hukum, kalau perlu membawa-bawa hukum agama, hingga intimidasi, secara fasih mengalir lancar.
Sering mendengar perbincangan orang tua mendidik anaknya justru dengan menakut-nakuti? Tak tanggung-tanggung dan ironisnya agar takut Tuhan. Ungkapan heroik ’’tidak takut manusia, hanya takut pada Tuhan’’ tak sepenuhnya sesuai kenyataan, karena perilaku merusak masih sering dijumpai. Tak sadar, meski terhadap Tuhan pun maunya benar sendiri. Ngeri rasanya kalau berperilaku sebagai sang maha pemilik, Tuhan pun secara tak sadar diperlakukan possesive. Bersyukur bila tidak ditakut-takuti sejak dini, sehingga bisa lebih jernih mendengar suara hati.
Purnomo Iman Santoso-EI
Villa Aster II Blok G No10
Srondol, Semarang 50268

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home