Sunday, January 13, 2013

Peka Nurani

Harian Suara Merdeka tanggal 14 Januari 2013 Benar adanya, Indonesia menjadi negara dengan keberhasilan perkembangan agama yang pesat di dunia. Indikatornya mudah. Rumah ibadah semua agama ada dimana-mana. Melalui media radio,TV, aroma religi merebak semerbak dan merasuk di kehidupan sehari-hari dari subuh hingga dini hari. Ungkapan religius seolah sudah menjadi bahasa ibu, lancar terucap saat berkomunikasi. Menarik juga, belakangan muncul orang-orang dengan kategori ’’dilahirkan kembali’’. Mereka dari berbagai masa lalu .Trennya, dari yang kelam karena terperosok goda duniawi (pecandu narkoba, preman, dan lainnya). Ada juga yang sembuh karena sakit berat. Mereka bertestimoni bagaimana proses lahir sebagai manusia baru dan menjelma menjadi sosok yang mapan secara rohani. Di jaman dulu penjelmaan juga ada. Di cerita wayang, Batara Ismaya, menjelma menjadi sosok bersahaja, sebagai punakawan bernama Semar.Tapi, di legenda ada juga iblis ular jahat menjelma menjadi sosok wanita cantik jelita. Acara kerohanian sering dimaknai sebagai pelayanan, juga sebagai saat yang tepat untuk sosialisasi ayat dan firman. Harap-an awam, tidak semata piawai dalam tafsir ataupun kecerdasan menjabarkan. Bila demikian, acara kerohanian bisa bergeser menjadi mirip cuci otak. Lebih me-ngedepankan kepentingan (sempit) hingga la-rangan-larangan. Tak heran sekarang ada yang mengajarkan secara dini bahwa anak-anak harus takut Tuhan. Bukankah Tuhan Maha Pengasih (bukan mena-kutkan dan maha penghu-kum?). Mungkin bisa diperdebatkan secara logika orang dewasa. Tetapi anak-anak bukan orang dewasa. Dengan mendeskripsikan Tuhan sebagai sosok yang harus ditakuti, seolah orang tua sudah menanamkan chip keimanan dan anak akan berjalan sesuai yang diharapkan secara autopilot. Cukupkah? Anak-anak butuh lebih dari itu. Pelayanan yang terbaik tetaplah dalam bentuk karya nyata, tulus, bermanfaat, bagi sesama apa pun latar belakangnya, tanpa kecuali anak-anak. Bukankah kalau (hanya) mendengar akan lupa, melihat (mungkin), ingat, hanya terlibat yang akan membuat mengerti. YB Mangunwijaya, dengan membangun bantaran Kali Code Yogyakarta menjadi area bermartabat bagi penghuninya yang kaum marginal. Gus Dur melalui keberpihakannya kepada kaum minoritas, saat dominasi mayoritas menjadi kebenaran di jagad ibu pertiwi. Masih banyak lagi yang lain. Suara hati nurani punya ’’aturan’’-nya sendiri, dan selalu ada kebenaran universal dan hakiki pada akhirnya. Ruang-ruang acara rohani digelar tak ubahnya hanya ruang simulasi. Dunia nyata sehari-hari dengan segala permasalahannya adalah tempat sesungguhnya untuk asah kepekaan nurani. Gus Dur,YB Mangunwijaya, Pdt Yosef P Wi-dyatmaka, para biksu yang hidup bersahaja, pemuka agama Hindu, mereka bertutur layaknya orang biasa. Tapi, karya kemanusiaannya yang luar biasa menyentuh dan tak bersekat. Melibatkan manusia baru yang berasal dari kekelaman mempunyai daya tarik kuat, namun bisa menimbulkan kerancuan. Apa jadinya bila timbul persepsi bahwa untuk mapan rohani harus kelam dulu, harus terperosok dulu, lalu di-’’cuci’’ bersih dengan terlibat acara rohani, dan surgawi pun menanti. Apa jadinya kalau yang lolos seleksi mapan rohani seorang koruptor. KPK bisa kebingungan, karena koruptor yang diburu mendadak sudah menjelma menjadi sosok resi. Pada kisah jaman dahulu kala, penjelmaan bisa baik tapi juga bisa sebaliknya. Penjelmaan tidak serta merta menjadikannya figur VVIP (very very important person) dalam relasinya dengan Sang Maha Kuasa. Sosok Semar jauh dari sikap eksklusif. Tetap rendah hati, peka nurani, melayani sepenuh hati, sesuai kodrat duniawi. Meski Semar sebetulnya manusia setengah dewa. Purnomo Iman Santoso-EI Villa Aster II Blok G No 10 Srondol, Semarang 50268

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home