Tuesday, April 09, 2013

Centeng dan Preman

Harian Suara Merdeka tanggal 09 April 2013 Saya penggemar komik maupun novel (khususnya novel petualangan) sejak kecil. Si Pitung dan lainnya, hingga komik Kho Ping Ho dengan tokoh Pendekar Seruling Emas serta yang lain, maupun komik Gan KL dengan Pendekar Binal dan lakon Siauw Hi Jie, Memanah Burung Rajawali dengan sosok Yoko, dan sebagainya. Ada lagi kisah Musashi, sang samurai sejati. Juga Zorro, Spiderman, Superman, Batman, Robin Hood. Belum lagi kisah wayang. Semua itu sangat akrab di benak. Cerita dengan berlatar belakang budaya Indonesia, Tiongkok, Jepang, Eropa, selalu ada kesamaan, karena menggambarkan sisi penindas dan tertindas. Di tengahnya ada yang bangkit. Membekali diri dengan menuntut ilmu, akhirnya menjadi sosok tangguh yang mandiri, dan berpihak pada kebenaran. Sosok-sosok ini kemudian menjadi orang independen, orang bebas yang terpanggil berpihak membela kebenaran. Ada artikel menuliskan bahwa sosok si Pitung adalah sosok vrijeman yang belakangan populer dengan sebutan preman. Namun, entah karena kekurangtahuan atau kurang membaca komik, justru sebutan preman sering berkonotasi negatif. Pihak berwajib juga sering menyebut-nyebut saat terjadi masalah Kamtibmas. Para pendekar di cerita komik selalu berpihak pada kebenaran. Penampilan mereka digambarkan berbudi pekerti, berwawasan dan beretika, ksatria, bersahaja. Para "si pitung" tak pamer senjata.Si Buta dari Gua Hantu atribut-nya kera, karena kemana pun ditemani seekor kera. Seorang Musashi meski samurai sejati tak selalu menggunakan pedang/samurai. Untuk meladeni para centeng, Musashi bisa melawan dengan (hanya) sebatang bambu. Lain lagi Kim Mo Eng yang selalu menggunakan seruling emas dan kipas sebagai bekal bela dirinya. Pendekar Kim Mo Eng julukannya setan berhati emas. Julukan ini karena ilmu silatnya yang aneh seperti gerakan setan, bukan karena perilakunya. Panji Tengkorak, dia sebenarnya mantan anak buah gerombolan Kebobeok, gerombolan penjahat kejam. Menggunakan topeng tengkorak bukan untuk menakuti, tetapi bentuk penyamaran saat dia melawan dan akhirnya menumpas gerombolan Kebobeok. Penampilan centeng sebaliknya. Digambarkan arogan, adigang adigung, senjata dipamerkan, menutup satu mata dengan penutup hitam (karena belum ada kacamata hitam). Memamerkan muka bercodet (mungkin karena tato belum ada di era itu). Sarat semangat menakuti yang lemah. Mereka membela siapa saja yang mampu membayar. Sekedar saran, alangkah bi-jaknya bila mau membaca komik-komik karya anak bangsa, ttanpa kecuali juga komik terjemahan, untuk lebih memahami perbedaan centeng dan preman. Meski orang sering memandang remeh komik, namun sebenarnya banyak pesan dan filosofi yang tetap relevan di jaman sekarang. Saya pernah membaca artikel di sebuah koran nasional, para preman/vrijeman di daerah perkebunan jaman penjajahan Belanda dulu, adalah tokoh perlawanan kepada penjajah. Bahkan waktu itu ikut mengusir para penjajah dari bumi Nusantara. Siapa lawan para preman/vrijeman?Di samping melawan penjajah, mereka melawan para centeng yang menjadi kaki tangan penjajah. Wow ..., kalau begitu kisah di komik dan artikel tulisan para orang pintar yang melakukan kajian akademik, jadinya nyambung. Ternyata vrijeman/preman adalah orang-orang bermartabat dan bernilai. Kehadiran mereka justru memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Para pengarang komik sejatinya menyampaikan pesan kebaikan dalam setiap karyanya. Sehingga saat mereka mengimajinasikan sosok para vrijeman yang menjadi pendekar, dan para centeng di sisi sebaliknya, yakin juga ada semangat seperti para pujangga pengarang Mahabarata. Menggambarkan sosok Pandawa yang sarat semangat pembela kebenaran dan sosok Kurawa sebagai spirit aneka keculasan dan keserakahan. Kalau melihat fenomena sekarang, jangan-jangan sosok si Pitung dan lainnya yang tulen, karena panggilan hati membela kebenaran, akhirnya telah terstigma. Di sisi lain ngetrennya perilaku menakuti, memalak, intimidasi, untuk jadi alat mencari uang. Spirit membuat masyarakat takut dengan cara apa saja, dari berbagai atribut, bahkan tanpa kecuali menyalahgunakan tato yang sebenarnya karya seni. Sudah saatnya menggunakan istilah yang semestinya. Bukan istilah yang biasanya. Setidaknya, agar tidak melupakan sejarah. Purnomo Iman Santoso-EI Villa Aster II Blok G No 10 Srondol, Semarang 50268

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home