Sunday, November 17, 2013

Anak Pintar Tak Boleh Rewel?

Harian Suara Merdeka tanggal 18 November 2013

 
Konon, Broni-Mero-Mopi segera berlarian ke depan saat mendengar suara mobil. Ketika ternyata bukan, ketiganya kecewa, menunggu terus menghadap dan menatap pintu lekat-lekat, berlama-lama.
Sebaliknya, Broni cs terlihat lesu, tak bersemangat, dan ngumpet di bawah meja bila tahu saya membawa tas, memakai sepatu, bersiap mau pergi. Meski diam, nalurinya tahu kalau mau ditinggal.
Teringat Mero, yang ini kucing dan diberi nama Mero karena pemberani. Akan segera berlarian lincah, datang entah darimana, tahu-tahu mendahului serta sudah siap di depan pintu, saat mendengar dari kejauhan suara mobil tua saya. Menyambut dengan pandangan mata bening tulus jenaka. Di waktu berbeda, Broni-Mero-Mopi, instingnya sangat tajam.Jadi meski belum tiba, mereka sudah menunggu terus di sekitar pintu, masing masing ingin jadi yang pertama untuk menyambut. Akan berlarian tak karuan, merangsek kesetanan. Butuh waktu untuk membuatnya tenang. Setelah tenang baru minum dan mau makan. Mungkin, karena yang datang dianggap ”ayah’’ mereka. Meski bukan ayah kandung. Rasa letih pun sirna.
Lupa persisnya, namun katanya itu jaman Gerakan 30 September (G30S) Partai Komunis Indonesia (PKI). Ayah waktu itu mengidap suatu penyakit. Tak tahu istilah medisnya, karena masih kecil/usia awal TK. Yang teringat ayah sering mengeluh tulangnya ada yang ngilu. Begitu sakitnya, atas saran mantri, juga saudara-saudara, disuruh berobat ke Bandung.
Saat-saat paling sedih yaitu bila ayah ke Bandung, atau ditinggal Ibu ke Purwokerto untuk belanja obat batik, atau ditinggal ke Magelang menengok kakek/nenek. Duduk di depan pintu halaman rumah, melihat ke jalan, tiap sore, meski sudah diberitahu bahwa hari tersebut belum saatnya pulang. Ada rasa sendiri dan luar biasa sepi. Meski saat ada orang tua sering bising diomeli. Malam hari tak bisa tidur cepat.
Hati senang luar biasa ketika dari kejauhan terlihat becak yang membawa ayah/ibu datang. Segera saya  berlari sambil teriak memanggil kakak. Kalau melihat Broni cs menyambut, terbayang saat masa kecil me­nyambut kedatangan orang tua. Ada kegembiraan luar biasa. Sadar, ternyata ”kegilaan” Broni cs sebetulnya juga ”kegilaan” kanak-kanak menanti kepulangan orang tua dari bepergian.
Apalagi di usia yang masih sangat butuh pendampingan orang tua. Maklum, memang ada kesepian yang menyesakkan. Bibir tak berucap, tapi hati kecil menjerit. Jadi, lambaian tangan mungil, bisa hanya ”ritual” rutin demi doktrin/cuci otak ”anak pintar tidak boleh rewel”. Jadilah si kecil menenteramkan orang tuanya yang akan bepergian. Si anak sendiri sebetulnya tidak tenteram ditinggal. Akibat setelahnya bisa berlanjut dengan kerewelan, ”mlekara” (membuat perkara) seharian. Kehadiran orang tua sepertinya mutlak.
Anak ingin pamer pertumbuhan. Mendamba orang tua menyaksikan, memberi apresiasi hingga sentuhan kali pertama. Meski tak jarang menimbulkan kekhawatiran berbuntut omelan. ltu semua tak mungkin terwakili dengan teknologi secanggih GPRS, EMS (Enhanced Messagge Service) maupun 3G. Kanak-kanak belum bisa berlogika apalagi berargumentasi ”cerdas” dalih-dalih duniawi maupun surgawi ala orang dewasa.
Jangankan logika, panca indera pun masih dalam proses untuk berkembang sempurna. Kanak-kanak hanya bisa berimaginasi. Tak terucap. Tapi konkretnya, tak ingin tumbuh besar ”sendirian”. Anak ”rewel” biasanya pintar. Kalau kanak-kanak, apalagi balita, sudah tidak rewel pada orang tuanya, bukannya bangga, ini yang harus jadi tanda tanya.

Purnomo Iman Santoso EI
Villa Aster II Blok G No 10
Srondol, Semarang 50268

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home