Thursday, March 06, 2008

-Pungutan "Hanya" Rp.1.000,--

Suara Merdeka tanggal 6 Maret 2008

Belum lama ini di Kebumen ada edaran yang ditujukan ke toko-toko sekitar pasar Tumenggungan yang isinya tentang pungutan Rp 1.000/hari/toko. Pungutan ini ada dasar hukumnya yaitu perda. Pungutan yang ”hanya” Rp 1.000/hari tersebut ternyata meresahkan warga pertokoan hingga spontan terjadi penolakan.
Reaksi penolakan tersebut telah menumbuhkan kebersamaan yang kuat di antara mereka.

Berbagai argumentasi mereka kemukakan dengan bahasa sederhana khas orang awam. Banyak dari mereka tidak paham bahasa hukum (yang sering bagai pedang bermata dua) maupun bahasa birokrasi (yang banyak kemasan).
”Hanya” Rp 1.000/hari, ”hanya” Rp 30.000/bulan dan ”hanya” Rp 360.000//tahun.

Perda Rp.1.000 ini konon hasil studi banding dan sudah jalan di daerah lain. Melihat reaksi warganya, para petinggi perlu melakukan evaluasi. Studi banding jangan diartikan menduplikasi. Akan lebih tepat kalau spiritnya untuk menghasilkan Perda cerdas yang menggairahkan masyarakat berinovatif, kreatif dan produktif.

Biarkan warga menyampaikan argumentasinya dengan gaya bahasanya sendiri. Pedagang/pengusaha umumnya orang lapangan. Etika kesantunan (dalam pemahaman yang universal) pasti sudah teruji sebab diterapkan setiap hari karena mereka bersosialisasi tanpa sekat dan batas. Cara berpikirnya praktis, rasional karena tiap saat dituntut mem-”presentasi”-kan barang dagangannya ke pembeli.

Kesantunan mereka otomatis, bukan karena Perda. Tidak santun, ya tidak eksis. Simple saja kan. Jangan buru-buru diberi banyak rambu untuk mengubah gaya bahasanya, hanya karena (akan) beranjangsana dengan wakil rakyat. Jangan pula dipaksa menggunakan bahasa ‘setengah dewa’ yang mungkin dimaknai sebagai kesantunan versi yang lain.
Tanpa kelugasan, pesan yang disampaikan berpotensi(di)bias(kan). Lugas jangan terburu divonis sebagai tidak santun. Kesantunan harus dimaknai sebagai sikap dan sikap seringkali lebih jujur dari kata-kata. Bukan sekadar bahasa, yang bisa terjebak pepatah lidah tidak bertulang.
Tanpa ikrar, kebulatan tekad dan lain khas bahasa (santun) birokrat,
Kebersamaan warga Kebumen yang kena pungutan untuk keberatan terhadap pungutan ”hanya” Rp1.000 wajib dihormati. Apalagi kebersamaan warga yang indah ini muncul dari berbagai latar belakang. Berlangsung spontan, natural, manusiawi dan tanpa sekat apalagi rekayasa. Mereka disatukan argumentasi cerdas dan merasa senasib. Hanya itu. Bukan persatuan semu karena jargon dan slogan populer yang sering justru bersemangat sebaliknya.

Purnomo Iman Santoso (EI)
Villa Aster II Blok G/10, Semarang