Harian Suara Merdeka tanggal 21 Februari 2014
Sebagai orang awam, mendengarkan Prof JE Sahetapy, Sujiwo Tejo,
Arswendo, Effendi Ghazali, Prof Benyamin Mangkudilaga bertutur, terasa
lebih bisa dimengerti. Bahasanya sederhana, apa adanya, lugas, tuntas
membuat pesan yang disampaikan tertangkap secara hitam-putih.
Sementara
mendengar nara sumber dari kalangan terhormat, yang fasih mengutarakan
undang-undang, peraturan-peraturan, secara serius dan dahi berkerut,
bukannya paham, justru menjemukan. Meski sering dikemas dengan bahasa
yang santun penuh puja-puji, namun menjadi berubah ekstrem saat ada yang
berbeda pendapat secara kritis.
Hasrat mencela, menuding, diumbar
berhamburan, sering membuat kering inspirasi dan menebar aura
demotivasi. Semangatnya benar sendiri, dipahami untuk kalangannya
sendiri, dan seperti hidup di dunianya sendiri. Orang biasa dianggap
makhluk penghuni dunia lain yang cukup disodori jampi-jampi dan sesaji.
Tak heran banyak ungkapan yang hanya seolah benar, dan tidak nyata.
Hanya karena merasa lebih menguasai banyak ketentuan duniawi maupun
dalih surgawi, kebenaran universal seolah dicarikan penantangnya. Kalau
perlu dengan mengada-ada.
Air menyerbu permukiman warga. Gajah,
harimau Sumatera merambah permukiman warga. Ungkapan ini sekilas adalah
kebenaran. Tapi kalau direnung-renungkan bukankah yang terjadi
sebaliknya? Wargalah yang(dibiarkan/diizinkan) menyerbu permukiman air.
Warga juga (yang diizinkan) merambah habitat gajah. Binatang ini bisa
dihalau. Tapi saat air menyerbu? Harus ditunggu sampai air berlalu,
meski berminggu-minggu. Kalau mendengar dalih dari kalangan terhormat,
pastilah tidak ada yang salah. Semua sudah ada undang-undang, peraturan,
bagus-bagus lagi. Meski sulit dimengerti kenapa bencana semakin sering
melanda.
Alam menghibahkan musim hujan dan kemarau. Bukannya
dianggap berkah. Semua dianggap musibah. Hujan kebanjiran, kemarau
kekeringan. Mungkin terbiasa dengan semangat mayoritas tunggal, dominasi
mayoritas, cuaca dan alam yang tak bisa membela diri maunya dijadikan
kambing hitam.
Kalau di era sebelumnya ada istilah ekstremis kiri
dan kanan, di era sekarang ada istilah cuaca ekstrem. Tapi belum
terdengar pengakuan eksploitasi alam secara ekstrem oleh pengelola
negara. Kecuali berpuluh tahun menyalahkan warga yang tinggal di
bantaran sungai, di bukit-bukit rawan longsor, tanpa ada tindakan nyata,
tegas, melarang, dan solusi.
Sekadar instropeksi, haruskah demi
pajak, lahan diacak-acak, jalanan di buat sesak. Aneka pajak dan
perizinan dipungut, tapi haruslah kembali untuk masyarakat sepenuhnya.
Petinggi prorakyat bila sungai bersih, drainase sesuai ukuran. Bendungan
dibangun setara dengan lahan resapan yang beralih fungsi. Fasilitas
pejalan kaki, angkutan massal, jalan-jalan berkualitas.
Jadi Prioritas
Pelayanan
publik prima dan terpelihara. Semua itu harus jadi prioritas dan
kenyataan. Sulit dipahami bila anggaran mobil dinas tahun terbaru setiap
habis pemilu begitu mudah disetujui. Sementara di bus kota, kereta api
produk berpuluh tahun lalu, angkot, sering terjadi kejahatan yang
mengorbankan kaum hawa. Demi protap, pengawalan dengan sirene dan peluit
menjerit-jerit menerobos warga yang berkutat di tengah kemacetan
kronis/menahun.
Kalau terjadi banjir dan longsor, jika gajah
menyerbu permukiman warga, izinkanlah dan dorong warga menuntut pada
pemberi izin alih fungsi untuk mempertanggungjawabkannya. Apalagi kalau
pengalihfungsian untuk menjadi kebun kelapa sawit milik warga dari
negara tetangga.Warga sendiri dan gajah diadu domba hingga sama-sama
merana. Sedangkan warga negara tetangga semakin makmur sejahtera.
Nara
sumber ''Acara Indonesia Lawak Klub'' justru lebih nyata. Ada episode
dengan perbincangan menarik.Yang satu ''serius'' menjelaskan bahwa
sesuai UUD 1945 menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Yang lain nyeletuk negara mana?
Sesuatu
yang dianggap candaan dan tanpa mulut berbuih malah pesannya sebetulnya
jernih. Mungkin juga akan lebih menarik bila pertanyaan berlanjut
sebesar-besar kemakmuran rakyat negara mana? Kecerdasan seharusnya
digunakan untuk menyampaikan kejernihan. Kalau bahasa sudah dijadikan
komoditi, pesan yang disampaikan tergantung transaksi. Yang terjadi
menonjolkan keterampilan olah kata, kepiawaian bersilat lidah, bila
perlu pamer kekuatannya. Kalau ini terjadi, yang disampaikan bisa bias,
rancu, sarat kekeruhan. Itu menyalahgunakan karunia kecerdasannya karena
berpotensi menggunakan tutur kata untuk melakukan dusta. Kejujuran dan
apa adanya, kadang menyakitkan, tapi indah dan mulia. Dusta itu indah
tapi menyakitkan pada akhirnya
Purnomo Iman Santoso-EI
Villa Aster II Blok G No 10
Srondol, Semarang 50268