Thursday, February 20, 2014

Kejernihan

Harian Suara Merdeka tanggal 21 Februari 2014


Sebagai orang awam, mendengarkan Prof JE Sahetapy, Sujiwo Tejo, Arswendo, Effendi Ghazali, Prof Benyamin Mangkudilaga bertutur, terasa lebih bisa dimengerti. Bahasanya sederhana, apa adanya, lugas, tuntas membuat pesan yang disampaikan tertangkap secara hitam-putih.
Sementara mendengar nara sumber dari kalangan terhormat, yang fasih mengutarakan undang-undang, peraturan-peraturan, secara serius dan dahi berkerut, bukannya paham, justru menjemukan. Meski sering dikemas dengan bahasa yang santun penuh puja-puji, namun menjadi berubah ekstrem saat ada yang berbeda pendapat secara kritis.
Hasrat mencela, menuding, diumbar berhamburan, sering membuat kering inspirasi dan menebar aura demotivasi. Semangatnya benar sendiri, dipahami untuk kalangannya sendiri, dan seperti hidup di dunianya sendiri. Orang biasa dianggap makhluk penghuni dunia lain yang cukup disodori jampi-jampi dan sesaji. Tak heran banyak ungkapan yang hanya seolah benar, dan tidak nyata. Hanya karena merasa lebih menguasai banyak ketentuan duniawi maupun dalih surgawi, kebenaran universal seolah dicarikan penantangnya. Kalau perlu dengan mengada-ada.
Air menyerbu permukiman warga. Gajah, harimau Sumatera merambah permukiman warga. Ungkapan ini sekilas adalah kebenaran. Tapi kalau direnung-renungkan bukankah yang terjadi sebaliknya? Wargalah yang(dibiarkan/diizinkan) menyerbu permukiman air. Warga juga (yang diizinkan) merambah habitat gajah. Binatang ini bisa dihalau. Tapi saat air menyerbu? Harus ditunggu sampai air berlalu, meski berminggu-minggu. Kalau mendengar dalih dari kalangan terhormat, pastilah tidak ada yang salah. Semua sudah ada undang-undang, peraturan, bagus-bagus lagi. Meski sulit dimengerti kenapa bencana semakin sering melanda.
Alam menghibahkan musim hujan dan kemarau. Bukannya dianggap berkah. Semua dianggap musibah. Hujan kebanjiran, kemarau kekeringan. Mungkin terbiasa dengan semangat mayoritas tunggal, dominasi mayoritas, cuaca dan alam yang tak bisa membela diri maunya dijadikan kambing hitam.
Kalau di era sebelumnya ada istilah ekstremis kiri dan kanan, di era sekarang ada istilah cuaca ekstrem. Tapi belum terdengar pengakuan eksploitasi alam secara ekstrem oleh pengelola negara. Kecuali berpuluh tahun menyalahkan warga yang tinggal di bantaran sungai, di bukit-bukit rawan longsor, tanpa ada tindakan nyata, tegas, melarang, dan solusi.
Sekadar instropeksi, haruskah demi pajak, lahan diacak-acak, jalanan di buat sesak. Aneka pajak dan perizinan dipungut, tapi haruslah kembali untuk masyarakat sepenuhnya. Petinggi prorakyat bila sungai bersih, drainase sesuai ukuran. Bendungan dibangun setara dengan lahan resapan yang beralih fungsi. Fasilitas pejalan kaki, angkutan massal, jalan-jalan berkualitas.

Jadi Prioritas
Pelayanan publik prima dan terpelihara. Semua itu harus jadi prioritas dan kenyataan. Sulit dipahami bila anggaran mobil dinas tahun terbaru setiap habis pemilu begitu mudah disetujui. Sementara di bus kota, kereta api produk berpuluh tahun lalu, angkot, sering terjadi kejahatan yang mengorbankan kaum hawa. Demi protap, pengawalan dengan sirene dan peluit menjerit-jerit menerobos warga yang berkutat di tengah kemacetan kronis/menahun.
Kalau terjadi banjir dan longsor, jika gajah menyerbu permukiman warga, izinkanlah dan dorong warga menuntut pada pemberi izin alih fungsi untuk mempertanggungjawabkannya. Apalagi kalau pengalihfungsian untuk menjadi kebun kelapa sawit milik warga dari negara tetangga.Warga sendiri dan gajah diadu domba hingga sama-sama merana. Sedangkan warga negara tetangga semakin makmur sejahtera.
Nara sumber ''Acara Indonesia Lawak Klub'' justru lebih nyata. Ada episode dengan perbincangan menarik.Yang satu ''serius'' menjelaskan bahwa sesuai UUD 1945 menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Yang lain nyeletuk negara mana?
Sesuatu yang dianggap candaan dan tanpa mulut berbuih malah pesannya sebetulnya jernih. Mungkin juga akan lebih menarik bila pertanyaan berlanjut  sebesar-besar kemakmuran rakyat negara mana? Kecerdasan seharusnya digunakan untuk menyampaikan kejernihan. Kalau bahasa sudah dijadikan komoditi, pesan yang disampaikan tergantung transaksi. Yang terjadi menonjolkan keterampilan olah kata, kepiawaian bersilat lidah, bila perlu pamer kekuatannya. Kalau ini terjadi, yang disampaikan bisa bias, rancu, sarat kekeruhan. Itu menyalahgunakan karunia kecerdasannya karena berpotensi menggunakan tutur kata untuk melakukan dusta. Kejujuran dan apa adanya, kadang menyakitkan, tapi indah dan mulia. Dusta itu indah tapi menyakitkan pada akhirnya
Purnomo Iman Santoso-EI
Villa Aster II Blok G No 10


Srondol, Semarang 50268