Thursday, September 19, 2013

Ada Permainan di Pasar Modal?

Harian Suara Merdeka tanggal 20 September 2013

 0
 0
Jumat, 6 September 2013, saya beruntung mendapat undangan untuk hadir pada suatu customer gathering dari sebuah bank penanaman modal asing (PMA) terkemuka dengan tema ‘’Indonesia-The Price of Popularity’’. Judul menarik, namun jujur, tak paham. Otak bimbang antara berangkat atau tidak, dan akhirnya ada dorongan kuat untuk melangkah.
Presentasi ternyata dikaitkan dengan situasi ekonomi Indonesia akhir-akhir ini. Kemerosotan rupiah dan terpuruknya harga saham menjadi fokus .Yah...saya anggap saja kuliah gratis. Bawaannya dari dulu lemah untuk mengikuti sistem belajar model kelas, harus duduk manis. Beruntung ada gambar/grafis/visual yang  membantu untuk menyerap, meski sedikit, apa yang disampaikan panjang lebar.
Penjelasan mengacu data historis situasi keuangan domestik dan global, yaitu dari tahun 2008 hingga terkini disajikan apik. Dalam waktu yang sependek itu, saya hanya menangkap (entah benar/tidak) bahwa gejolak dunia finansial belakangan ini terkait masalah likuiditas akibat modal (asing) dari investor yang ke luar dari Indonesia.
Ini kondisi wajar saja karena sesuai mekanisme pasar modal. Bila ada modal asing masuk, kebutuhan di pasar modal naik, harga surat berharga akan menguat, demikian juga bila sebaliknya. Dijabarkan bahwa saat harga terpuruk adalah saat perlu dipertimbangkan untuk masuk ke pasar/time to buy. Hanya waktunya kapan yang harus cermat, agar tidak memposisikan sebagai sasaran dari pisau jatuh (istilah pembawa materi yang diartikan jangan masuk pasar ternyata harga masih merosot dan merosot lagi). Namun juga tidak disarankan terburu-buru keluar pasar, istilahnya cut loss, karena pasti rugi. Dijelaskan juga mengenai psikologi investor kalem dan investor panik terkait saat time to buy, stay atau cut loss. Investor butuh saraf sekuat baja tampaknya. Konon pasar modal Rusia pernah terpuruk hingga 80%.
Tiba saatnya sesi tanya jawab. Dengan pemahaman yang didapat sesaat, namun ada rasa ingin tahu, saya memberanikan diri untuk bertanya. Dari gambar visual yang ditayangkan tampak bahwa dari rentang waktu 2008-2013 fluktuasi (tajam) sering terjadi, dan semakin sering terjadi belakangan ini. Yah, perasaan baru Juni 2013 ada berita berita IHSG melemah, hanya berselang 2 bulan, Agustus 2013, IHSG terpuruk.
Saya berimajinasi menjadi bagian investor lokal/domestik, mencoba bertanya apakah fluktuasi yang semakin sering ini suatu kewajaran? Dijelaskan, inilah konsekuensi dari perkembangan pesat bursa Indonesia, sehingga fluktuasi menjadi hal yang wajar-wajar saja. Mungkin yang dimaksud adalah Bursa Efek Indonesia (BEI) yang semakin berkibar ini ibarat makin tinggi makin kuat kena hembusan angin. Mungkin, ini inti pesan dari tema ‘’Indonesia-The Price of Popularity’’.
Karena kondisi tahun 2008 sering diutarakan berulang, mendadak terlintas di benak suatu kejadian besar di tahun tersebut, yaitu BEI sempat disuspen karena kepanikan investor telah mengakibatkan kemerosotan. Bahkan, karena berita itu ekstrem, saya  teringat terus salah satu media membuat sub judul bahwa kemerosotan BEI (waktu itu) terburuk di dunia.
Dari media waktu itu sempat muncul statemen dari otoritas pasar modal Indonesia yang menyebutkan ada permainan di BEI dan harus diusut tuntas. Kalau Investor harus menanggung risiko akibat gejolak yang bersumber mekanisme pasar, itu adalah konsekuensi. Fair-fair saja. Saya juga menanyakan bagaimana kalau kemerosotan itu bukan karena mekanisme pasar yang wajar? Ada permainan, penyalahgunaan aturan yang mengakibatkan kepanikan, seperti kejadian saat itu? Tentunya tidak fair kalau ini dianggap sebagai risiko yang harus ditanggung sepenuhnya oleh investor.
Atas pertanyaan ini dijelaskan solusinya adalah harus cerdas dalam menentukan portofolio, jangan hanya saham tapi juga di obligasi dan yang lain. Intinya tidak menempatkan telur dalam satu keranjang. Penjelasan yang bagus, hanya saja terasa normatif. Di dunia nyata tak terbayang, saat itu, betapa para ujung tombak yang langsung berinteraksi akan jadi bulan-bulanan kepanikan para kliennya.
Apalagi kejadiannya sulit dijabarkan dengan mekanisme pasar yang terjadi dengan menyandang predikat sebagai bursa yang merosotnya terburuk se dunia. Dan betapa kalutnya, karena semua bekal edukasi tidak cocok menjadi materi konsultasi untuk meredam kepanikan para klien. Bukan tidak mungkin para ujung tombak berubah menjadi ‘’ujung tombok’’.
Untuk orang awam, mungkin perlu dipikirkan oleh pakar sisi-sisi perlindungan investor. Ini penting sebagai antisipasi agar investor tidak harus menanggung risiko yang dibuat segelintir avonturir. Siapa tahu dengan adanya perlindungan ini akan menggairahkan investor domestik masuk ke pasar modal Indonesia? Siapa tahu dengan demikian investor domestik bisa merebut kembali pasar modal Indonesia dari dominasi investor asing yang sering sesuka hati mempermainkan BEI dengan isu likuiditas melalui modalnya yang seenaknya melenggang masuk-ke luar demi untuk keuntungan mereka. Merdeka! Indonesia-The Prize of Popularity
Purnomo Iman Santoso-EI
Villa Aster II Blok G No 10
Srondol, Semarang 50268


Wednesday, September 18, 2013

Menakut-nakuti

Harian Suara Merdeka tanggal 18 September 2013


Ketika saya kecil, ibu selalu membiasakan buang air kecil sebelum tidur dan membangunkan tengah malam untuk kembali buang air kecil. Pola ini membuat anak-anak tidak ada yang ngompol, karena alarm kebelet otomatis akan membangunkan kita turun dari tempat tidur untuk kencing.
Saat saya kecil posisi tidur persis di depan pintu tembusan ke kamar belakang. Pintu tersebut selalu dikunci, karena dihuni paman. Masih ada ruang sempit antara pintu tembusan dan tempat saya tidur. Karena berbadan kecil, saya tidur di box, diberi kelambu karena masih banyak nyamuk. Ada kejadian yang tak terlupakan hingga kini.
Tengah malam, seperti biasa saya terbangun karena kepingin kencing. Sebetulnya mau turun, tapi samar-samar di balik kelambu yang menghadap pintu tembusan, kok ada dua sosok yang berdiri (padahal sempit). Saya perhatikan sosok itu, kemudian antara rasa ’’kebelet’’ dan takut, saya memiringkan badan menghadap sosok tersebut. Selanjutnya saya menurunkan celana dan memberanikan pelan-pelan menyingkap kelambu bagian bawah dan saya kencing ke arah ’’orang-orang’’ tersebut.
Aneh, orang tersebut hilang. Kemudian saya turun dari tempat tidur dan kebetulan ayah juga bangun. Karena ada air kencing di lantai, ayah mengira saya ngompol. Saya ceritakan kejadian itu. Ayah saya heran, setelah dicek kasur tipis saya tidak basah, yang basah justru pintu tembusan. Sampai akhirnya menyuruh saya tidur lagi setelah menggeser box menjauh dari pintu tembusan.
Esok harinya saya tanya ke ayah. Semalam itu setan ya pa? Ayah saya balik bertanya, apa? Setan? Setan itu ’’dibeset isine ketan’’ maksudnya kue lemper (kalau makan daunnya dikupas dulu). Selanjutnya saya diminta selalu berdoa kepada Tuhan kalau mau tidur. Biar kalau tidur ditemani Tuhan. Saya terpukau cara penjelasan ayah, sehingga rasa takut yang menyergap semalam sirna. Malam-malam berikut tetap tidur di box, posisi kembali di depan pintu tembusan, berdoa sebelum tidur, pulas, bangun tengah malam kalau kepingin kencing, tanpa peduli lagi ada/tidak bayang-bayang di belakang kelambu. Luar biasa memang, cara ayah saya mendidik anak-anaknya untuk tidak jadi penakut.
Beranjak dewasa, dari cerita lingkungan, saudara, hingga pengobeng/tukang batik (karena orang tua saya dulu pembatik), diketahui bahwa rumah yang kami huni memang dikenal sering ada kejadian aneh. Namun rasanya sudah biasa-biasa saja.
Era sekarang, perkembangan tidak menarik terjadi. Misalnya kejadian saat penertiban PKL di Pasar Tanah Abang. Sempat ada pihak yang mengembuskan info bahwa sekian puluh tahun lalu pernah terjadi kerusuhan di Pasar Tanah Abang. Cukup? Tidak. Kantor Wagub DKI didatangi orang-orang yang mengaku massa PKL, memaksa bertemu dengan Wagub dengan penuh amarah dan sumpah serapah.
Cukup? Masih ada lagi. Terjadi perang opini yang melibatkan sosok yang berpredikat wakil rakyat dengan bahasa yang santun, penuh kemasan, namun terselip pesan ’’awas loe kalau macam-macam ame gue’’, meski tak ada yang menuduh. Dari kota lain, sekian tahun lalu, ada cerita pengamen marah-marah. Uang logam Rp 50 yang diberikan secara baik-baik ke si pengamen, dilempar balik ke pedagang wanita yang berusia 77 tahun. Padahal jual mi instan satu kardus, waktu itu, untungnya hanya Rp 50. Cukup? Tidak. Dengan ’’jantan’’ masih ada umpatan, mau rusuh lagi ya? Mau dibakar-bakar lagi ya? Kebetulan di kota tersebut sempat terjadi kerusuhan rentetan kejadian rusuh tahun 1998.
Tujuan semua perilaku itu adalah untuk menakut-nakuti. Herannya, para pelaku itu sepertinya kebal hukum.Tak heran, menakut-nakuti seolah jadi model, bahkan profesi baru. Jalan raya, pedagang, wagub, mau diperlakukan sesukanya. Seolah mereka sebagai miliknya. Perilaku mereka sudah menjurus possesive (orang yang suka menguasai). Kepantasan sudah diabaikan. Ada dalih segudang untuk pembenar. Dari berdasarkan hukum, kalau perlu membawa-bawa hukum agama, hingga intimidasi, secara fasih mengalir lancar.
Sering mendengar perbincangan orang tua mendidik anaknya justru dengan menakut-nakuti? Tak tanggung-tanggung dan ironisnya agar takut Tuhan. Ungkapan heroik ’’tidak takut manusia, hanya takut pada Tuhan’’ tak sepenuhnya sesuai kenyataan, karena perilaku merusak masih sering dijumpai. Tak sadar, meski terhadap Tuhan pun maunya benar sendiri. Ngeri rasanya kalau berperilaku sebagai sang maha pemilik, Tuhan pun secara tak sadar diperlakukan possesive. Bersyukur bila tidak ditakut-takuti sejak dini, sehingga bisa lebih jernih mendengar suara hati.
Purnomo Iman Santoso-EI
Villa Aster II Blok G No10
Srondol, Semarang 50268

Monday, September 09, 2013

ANGKA 7 DIPROYEK TOL

Harian Suara Merdeka tanggal 9 September 2013

Sabtu, 20 Juli 2013, Rotary Club Semarang Bojong pada acara vocational trip mendapat kesempatan melihat dari dekat proyek jalan tol Semarang-Solo, khususnya ruas Ungaran-Bawen yang masih dalam proses pembangunan. Didampingi Komisaris Utama PT Trans Marga Jateng, Bapak Danang Atmodjo dan jajarannya di lapangan, kami menuju lokasi yang dimulai dari tol Banyumanik dan berakhir di Bawen.
Kesan yang saya tangkap sebagai orang awam adalah sepanjang jalan tol pemandangan/panorama alam terasa asri dan indah. Sawah dan perbukitan ada di samping kanan dan kiri-bawah jalan. Pemilihan lahan yang memanfaatkan bukit dan lembah tanpa menggusur dan tetap prioritas mempertahankan lahan produktif(persawahan) sangat terasa. Tampak keseimbangan eko sistem di sepanjang jalan tol yang dibangun menjadi perhatian seksama untuk dijaga.
Sering kita jumpai pembangunan jalan lingkar yang menggusur tanah persawahan yang sebetulnya masih sangat produktif. Belum Iagi seteIah pembangunan jalan selesai, sawah di kiri dan kanan jalan pun segera mulai dikeringkan, diuruk, yang biasanya dalam waktu singkat akan segera dipadati bangunan permanen. Sungguh sayang.
Sisi lain yang menarik, jalan tol Semarang-SoIo akan menghabiskan dana Rp 7 triliun. Nantinya akan dikelola oleh PT Trans Marga Jateng yang didirikan 7-7-2007. Dari berbagai sumber, tak sengaja ditemukan angka 7 terkait proyek jalan tol Semarang-Solo. Nanti-nya panjangnya 76,56 km (apalagi kalau boleh dibulatkan menjadi 77 km). Teringat tulisan di surat pembaca beberapa waktu lalu berjudul ”Misteri Angka 7 di semua Kultur” (secret of seven) yang ditulis RM Ismunandar S, Salatiga, tanggal 24 September 2009.
Ternyata diuraikan beserta contoh-contohnya, bahwa angka 7 ada di semua kultur (baik Indonesia/Jawa, Tionghoa, Bali, dan di negara Barat). Tentunya tidak untuk membahas ulang dari sisi kultur yang telah diurai secara apik. Juga bukan untuk membahas dari sisi teknis-ilmiah. Tapi dari sisi lain. Keberadaan angka 7 pada proyek itu mengingatkan pada hal-hal yang menarik untuk disimak.
Sebagai penggemar film kungfu, sekitar tahun 1975, ada film The Seven Magnificent (bintang filmnya kalau tak keliru antara lain David Chiang, Tilung, Fu Shen, Wang Tao, Wang Yu, Chen Kuan Tay, dan satu lagi saya lupa). Indonesia juga pernah punya Seven Magnificent di bulu tangkis era Liem Swie King, Rudi Hartono, Iie Su-mirat, Tjuntjun-Johan Wahyudi, Christian Hadinata - Ade Chandra. Ada juga film The Magnificent Seven yang dibintangi aantara lain Yul Bryner, Steve Mc Quen, Charles Bronson, James Coburn, Robert Vaughn. Kita juga mengenal puyer Bintang Toedjoe. Salah satu acara teve swasta yaitu On The Spot selalu menunjukkan 7 (tujuh) kejadian, fenomena, figur. Tampaknya angka 7 identik dengan hal-hal positif, unik, menarik, bahkan heroik.
Semua pekerjaan selalu penuh tantangan bila kita mengerjakan sepenuh hati untuk hasil terbaik. Halangan, rintangan seolah menjadi batu ujian. Konon, mengutip yang pernah saya baca, sepanjang telah melalui atau setidaknya mengalami enam hambatan, halangan, berarti harus bersyukur. Karena, akan datang kejadian ke 7 atau dalam bahasa Jawa ”pitu” yang bisa dimaknai sebagai pitulungan/pertolongan.
Pertolongan bisa datang dari mana saja, sepanjang kita telah berupaya dengan keras, cerdas, dan ikhlas. Termasuk pertolongan-NYA. Ada benarnya, karena setelah mengerjakan secara sepenuh hati, biarkan Yang Maha Kuasa menuntaskan. Tuhan tak akan menguji melebihi batas kemampuan umatnya. Semua akan indah pada waktunya.
Purnomo Iman Santoso - El
Villa Aster II Blok G No 10
Srondol, Semarang 50268