Wednesday, October 16, 2013

Tamatan SD

Harian Suara Merdeka tanggal 16 Oktober 2013

Istilah ’’Tamatan SD’’ belakangan ini menjadi populer. Meluncur dari bibir merah merekah sosok-sosok artis yang saling respon sebagai kolega. Jadilah setiap bepergian, tayangan polemik dengan isu tamatan SD mengisi ruang-ruang publik melalui siaran acara yang ditayangkan melalui TV.
Ternyata sosok-sosok artis jelita bagai bidadari baru turun dari pesawat Garuda ini sedang bercanda soal tamatan SD. Begitu gelinya, yang satu mempertanyakan yang lain, sampai tak sadar bahwa dirinya sebenarnya juga tamatan SD. Awalnya, sambil lalu. Tapi lama-lama bertanya dalam hati, memangnya ada apa dengan tamatan SD? Rupanya, tamat SD itu dipandang suatu hal yang remeh sehingga pantas jadi bahan bercanda hingga olok-olok. Sering kita jumpai di perempatan jalan, anak-anak usia sekolah berkeliaran sepanjang hari.
Ada yang berjualan, ada pula yang minta sedekah. Tidak kenal waktu. Di jam sekolah bahkan hingga malam hari, mudah dijumpai sosok kecil, bahkan tak jarang masih mungil yang sering diberi predikat anak jalanan. Jangan-jangan mereka tidak mendapat kesempatan pendidikan sama sekali. Bahkan, Sekolah Dasar (SD) sekalipun.
Sekolah Dasar yang sempat menjadi bahan candaan bagi para jelita adalah barang super mewah bagi mereka. Begitu mewahnya, ibarat sekelas mobil mewah, rumah mewah hingga apartemen mewah yang jadi dambaan selebritas. Bagi yang beruntung mendapat berkat pendidikan, bukannya apa pun jenjang akhir pendidikan yang diraihnya harus melalui Sekolah Dasar? Bertitel S1,S2 ,S3 maupun profesor itu artinya telah melalui tamatan SD. O... tapi saya paham. Yang dimaksud adalah kalau cuma tamatan SD itu apalah artinya. Begitu kira-kira.
Hanya saja, kenapa gelar akademis dipuja-puja, sehingga bila tamatan SD harus dipandang sebelah mata. Tetap apresiasi untuk penyandang title, gelar berderet (apalagi tak hanya dari domestik), dan diraih dengan proses yang semestinya.Tapi sebaiknya tetap dilihat karya,dan kontribusinya kepada sesama. Belakangan KPK menangkap sarjana, doktor bahkan profesor, dan menjadikannya tersangka korupsi. KPK juga sedang menyidangkan seorang jenderal.
Elly Anita, pendidikan Sekolah Dasar Tanjung Karang, Lampung. Dia bukanlah sosok artis maupun selebriti yang cantik jelita, sehingga wajar banyak yang tidak mengenal. Elly Anita ’’hanya’’ TKI. Elly Anita adalah salah satu dari sembilan orang di dunia yang menerima penghargaan ’’pahlawan yang berjasa untuk mengakhiri perbudakan era modern tahun 2009 dari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (waktu itu), Hillary Clinton. Sebenarnya ada satu sosok yang lebih ’’parah’’ lagi. Beliau adalah Andrie Wongso.
Tapi rasanya kita tak bisa menyangkal bahwa karyanya mulia. Karena membesarkan hati siapa saja. Membangkitkan semangat dari dalam diri siapa saja. Luar biasa! Gelar Andrie Wongso adalah SDTT(Sekolah Dasar Tidak Tamat). Nah kalau yang ini pasti semua orang mengenal. Barrack Obama, Presiden Amerika Serikat, pendidikan diraih di Columbia University, Chicago University dan Havard University. Pendidikan yang benar-benar top.
Tapi, kok mau-maunya mengaku pernah bersekolah di SD Negeri 04 Percobaan,Jl Besuki Jakarta Pusat? Kalau direnung-renungkan, mereka ini memang orang-orang yang kaya karya. Tak sebatas panggung bergelimang cahaya, ruang ber AC, apalagi di layar kaca. Tapi di dunia nyata. Senyata-nyatanya.
Purnomo Iman Santoso-EI Villa Aster II Blok G No 10 Srondol, Semarang 50268


Friday, October 04, 2013

Bahaya Berkendara Di Usia Belia

Harian Suara Merdeka tanggal 4 Oktober 2013

Tahun 1975, siswa yang ke sekolah umumnya bersepeda, jalan kaki, atau naik becak. Sepeda motor jarang, bisa dihitung dengan jari. Saya termasuk yang berjalan kaki bersama teman lain sekolah, dan merupakan kegembiraan tersendiri. Di antara teman sebaya itu, ada yang perkembangannya di atas rata-rata. Salah satunya sudah berpacaran, yang lain ngebet cari pacar. Keduanya punya sepeda motor. Saya bisa naik motor juga karena diajari mereka. Mungkin sebagai balas jasa karena saat mereka “apel”, saya selalu diajak untuk jadi penggembira. Saya setuju saja, karena sedang senang-senangnya bersepeda motor.
Kendaraan bermotor masih sedikit, sehingga bisa mengendarai motor di usia belia, menambah percaya diri. Meskipun kelalaian sering terjadi. Saat hujan pernah jatuh tergelincir ketika melintas Jl Sudirman di depan Gedung Isola Purwokerto. Penyebabnya, di situ (dulu) ada rel kereta api melintang jalan. Waktu hujan rel licin, tapi karena kecepatan tak disesuaikan, akhirnya terpeleset, jatuh, dan akibatnya lumayan babak belur.
Ketika di daerah Banyumas, kalau tak salah di Desa Tunggangan, pernah ada sirkuit untuk motor cross. Kagum terhadap crosser top Bandung Sunggoro, Soma bersaudara, dan lainnya, bersama teman yang punya motor trail Yamaha Enduro ikut berangkat ke lokasi. Di jalanan masih percaya diri. Di sirkuit, terbayang beraksi ala crosser beneran. Begitu di arena yang semestinya, tidak ada yang mau mengalah. Tiga kali mencoba, akhirnya stop. Sadar, ternyata ”keberanian” saat di jalan itu semu, karena pengendara yang lain mengalah.
Suatu senja awal tahun 1980, pernah menemukan dompet beserta isinya di perempatan bioskop Srimaya. Ketika kami antarkan ke rumahnya, ternyata pemilik dompet tersebut seorang polisi. Saat berpamitan kami ditanya: Kamu punya SIM? Kami jawab, “belum pak”. “Jangan stir ya kalau belum punya SIM,” pesannya.
Menjelang ujian akhir SMA, petang hari berboncengan Yamaha bebek biru, kami mencari makan. Tak diduga, persis di depan sekolah ternyata ada razia polisi. Karena tak punya SIM, motor pun ditahan. Dalam kebingungan, karena motor milik teman, teringat pak polisi yang dompetnya jatuh. Malam itu juga, segera ke rumah beliau, menceritakan kejadian yang baru terjadi dan mohon ditolong.
Bukannya mendapat simpati, malah dimarahi habis-habisan. Esok hari diminta menemui beliau di kantornya. Dipertemukan polisi bagian terkait, dipesan tak boleh berkendara kalau belum punya SIM, apalagi lari kalau ada razia. Kami dianjurkan ikut ujian SIM. Setelah mengikuti prosedur yang berlaku, motor pun boleh dibawa pulang.
Kini, sepeda motor mudah didapat. Tinggal telepon diantar, pembayaran boleh diangsur, tak harus tunai. Tapi, jujur, ngeri. Tak apa bayar kos daripada bersepeda motor saat lalu lintas padat seperti sekarang. Bagi anak usia belia, mungkin terampil dalam mengendarai motor, namun emosinya masih labil. Berbahaya!
Saya sempat berdebat, namun bersyukur anak-anak mau mengerti. Ternyata banyak juga yang tak dibelikan sepeda motor oleh orang tuanya. Kalau bepergian, saat pertandingan basket, pentas musik, berombongan iuran untuk naik angkot/taksi. Kompak jadinya. Kendaraan bermotor di tangan yang tak tepat, bukannya jadi sarana transportasi, tapi bisa jadi mesin pembunuh yang mengerikan. Purnomo lman Santoso-El Villa Aster II Blok G No 10 Srondol, Semarang 50268