"Kayak Anak Kecil"
Beberapa hari ini masyarakat disuguhi tayangan perilaku caleg yang gagal mendulang suara, meski berbagai upaya (transaksional) sudah dilakukan. Ada yang menutup jalan, meminta kembali kompor yang dibagikan, membongkar rumah yang menempati tanah miliknya, dan sebagainya. Ada yang menyebutnya sebagai perilaku “kayak anak kecil”. Tapi betulkah demikian? Salah satu tv swasta menayangkan Junior Master Cheff Indonesia.
Sekumpulan anak belia lolos seleksi mengikuti ajang ini untuk menjadi calon Junior Master Cheff Indonesia. Melihat mereka yang lolos seleksi, terbersit rasa bangga. Ternyata anak-anak Indonesia banyak yang bertalenta luar biasa. Mereka berlomba, semangatnya sungguh luar biasa. Tetap dengan sportivitas tinggi yang terjaga di antara mereka, meski jelas-jelas ajang ini kompetisi ketat. Mereka dari berbagai latar belakang dan benar-benar beradu keterampilan. Yang lolos (anehnya) malah bisa menangis sedih atas kegagalan rekannya. Padahal bukankah mengurangi persaingan di antara mereka justru suatu keuntungan?
Yang gagal tetap tegar (meski pasti ada kesedihan) dan juga tetap menyemangati yang lolos. Alex,Brian, dengan segala keusilan dan kejailan khas anak-anak. Yang kalah, Claudia, Alexander, Christoper, meski sedih tapi tetap sportif berjiwa besar. Juga Matheuw yang tetap tegar. Tak ada olok-olok. Benar-benar anak-anak hebat yang mewujudkan sikap siap menang dan kalah, tanpa perlu seremonial ikrar. Dan tak ada kambing hitam. Senang jadinya yang nonton. Tak hanya yang masih lolos, yang tereliminasi pun rasanya tetap layak jadi juara Junior Master Cheff, tetap anak-anak Indonesia yang hebat. Berkompetisi secara ketat, dan suasana di bawah tekanan, kekesalan, kelegaan silih berganti, tapi tetap akrab satu sama lain. Semua terasa begitu lepas dan ikhlas. Melihat mereka bertanding tak ubahnya melihat premier league. lbaratnya, meski ada “sliding tackle”, “body charge” tapi selalu dalam posisi “ada bola” dan tetap menjadi bagian dari permainan yang menuntut keterampilan tinggi dan jiwa sportivitas mumpuni. Sliding tackle yang bukan dalam semangat jegal menjegal. Apalagi untuk mencederai. Membandingkan dengan perilaku para caleg gagal, orang dewasa perlu merenungkan tudingan “kayak anak kecil” yang berkonotasi meremehkan dan berindikasi arogansi orang dewasa yang mengklaim diri selalu otomatis lebih hebat dari anak kecil (“anak kecil tahu apa”?).
Karena di Junior Master Cheff Indonesia, sekumpulan anak kecil Indonesia, berusia antara 8-13 tahun, justru menunjukkan kematangan sikap mental juara sejak dini. Hikmah dari ini, mungkin saatnya lembaga terkait yang melakukan seleksi untuk para caleg, juga para capres-cawapres, mau berendah hati belajar dengan seleksi ala Junior Master Cheff Indonesia yang terbukti telah menyaring dan mengangkat ke permukaan anak-anak kecil Indonesia yang luar biasa hebat. Tidak lupa, perilaku anak-anak kecil Indonesia ini begitu tulus, natural, genuine. Jauh dari artificial, karbitan, apalagi sinetron.
Purnomo Iman Santoso-El
Villa Aster II G 10
Srondol, Semarang