Friday, May 23, 2014

"Kayak Anak Kecil"

Harian Suara Merdeka tanggal 23 Mei 2014


Beberapa hari ini masyarakat disuguhi tayangan perilaku caleg yang gagal mendulang suara, meski berbagai upaya (transaksional) sudah dilakukan. Ada yang menutup jalan, meminta kembali kompor yang dibagikan, membongkar rumah yang menempati tanah miliknya, dan sebagainya. Ada yang menyebutnya sebagai perilaku “kayak anak kecil”. Tapi betulkah demikian? Salah satu tv swasta menayangkan Junior Master Cheff Indonesia.
Sekumpulan anak belia lolos seleksi mengikuti ajang ini untuk menjadi calon Junior Master Cheff Indonesia. Melihat mereka yang lolos seleksi, terbersit rasa bangga. Ternyata anak-anak Indonesia banyak yang bertalenta luar biasa. Mereka berlomba, semangatnya sungguh luar biasa. Tetap dengan sportivitas tinggi yang terjaga di antara mereka, meski jelas-jelas ajang ini kompetisi ketat. Mereka dari berbagai latar belakang dan benar-benar beradu keterampilan. Yang lolos (anehnya) malah bisa menangis sedih atas kegagalan rekannya. Padahal bukankah mengurangi persaingan di antara mereka justru suatu keuntungan?
Yang gagal tetap tegar (meski pasti ada kesedihan) dan juga tetap menyemangati yang lolos. Alex,Brian, dengan segala keusilan dan kejailan khas anak-anak. Yang kalah, Claudia, Alexander, Christoper, meski sedih tapi tetap sportif berjiwa besar. Juga Matheuw yang tetap tegar. Tak ada olok-olok. Benar-benar anak-anak hebat yang mewujudkan sikap siap menang dan kalah, tanpa perlu seremonial ikrar. Dan tak ada kambing hitam. Senang jadinya yang nonton. Tak hanya yang masih lolos, yang tereliminasi pun rasanya tetap layak jadi juara Junior Master Cheff, tetap anak-anak Indonesia yang hebat. Berkompetisi secara ketat, dan suasana di bawah tekanan, kekesalan, kelegaan silih berganti, tapi tetap akrab satu sama lain. Semua terasa begitu lepas dan ikhlas. Melihat mereka bertanding tak ubahnya melihat premier league. lbaratnya, meski ada “sliding tackle”, “body charge” tapi selalu dalam posisi “ada bola” dan tetap menjadi bagian dari permainan yang menuntut keterampilan tinggi dan jiwa sportivitas mumpuni. Sliding tackle yang bukan dalam semangat jegal menjegal. Apalagi untuk mencederai. Membandingkan dengan perilaku para caleg gagal, orang dewasa perlu merenungkan tudingan “kayak anak kecil” yang berkonotasi meremehkan dan berindikasi arogansi orang dewasa yang mengklaim diri selalu otomatis lebih hebat dari anak kecil (“anak kecil tahu apa”?).
Karena di Junior Master Cheff Indonesia, sekumpulan anak kecil Indonesia, berusia antara 8-13 tahun, justru menunjukkan kematangan sikap mental juara sejak dini. Hikmah dari ini, mungkin saatnya lembaga terkait yang melakukan seleksi untuk para caleg, juga para capres-cawapres, mau berendah hati belajar dengan seleksi ala Junior Master Cheff Indonesia yang terbukti telah menyaring dan mengangkat ke permukaan anak-anak kecil Indonesia yang luar biasa hebat. Tidak lupa, perilaku anak-anak kecil Indonesia ini begitu tulus, natural, genuine. Jauh dari artificial, karbitan, apalagi sinetron.
Purnomo Iman Santoso-El
Villa Aster II G 10
Srondol, Semarang

Friday, May 09, 2014

Tanpa Hati Kata-kata Menjadi Tak Berarti

Harian Suara Merdeka tanggal 9 Mei 2014

Santun, ungkapan yang semestinya berspirit ketulusan, ada kecenderungan berubah hanya menjadi semacam kemasan. Tak heran di era IT ini kita sering disuguhi tontonan dengan aktor yang didominasi sosok-sosok elite, terkenal, yang bertutur santun, teratur, sistematis, tak ketinggalan dengan diberi bumbu-bumbu istilah elite. Bahkan kalau perlu kosa kata asing maupun adonan yang beraroma religi. Namun dari sekian banyak yang muncul di media, ternyata hanya segelintir yang berhasil mendapat tempat di hati. Aneh, yang segelintir ini justru tak selalu yang memenuhi kriteria santun yang diopinikan. Hebatnya lagi orang-orang ini tetap mendapat tempat di hati masyarakat, bahkan meski berusaha digempur dengan pembentukan opini untuk menyudutkan, bahkan menjatuhkan. Orang-orang ini ada kesamaan, meski berlatar belakang berbeda- beda.
Mereka apa adanya. Karena tak banyak kemasan, energi positif pun terpancar dan memancar kuat, bebas hambatan. Yang terjadi kesinkronan dan keselarasan bahasa verbal dan bahasa tubuh. Tidak terjadi bahasa tubuh yang kontradiktif. Bibir tersenyum ramah meski sorot mata mengirim pesan sebaliknya. Manusia dikaruniai kecerdasan luar biasa lengkap. Pengertian lengkap di sini, karena tidak semua kecerdasan yang dikaruniakan bersumber di kepala/otak (kecerdasan intelektual/IQ). Ada kecerdasan yang bersumber di hati (kecerdasan spiritual, emosional/EQ). Ada juga kecerdasan yang bersifat kombinasi dari otak dan hati(kecerdasan kreatif dan kecerdasan untuk keluar dari kebuntuan). Ketika kita membiarkan otak mendominasi, yang terjadi segala sesuatu bisa dimanipulasi.
Kalau perlu membentuk opini dengan mengangkat berbagai isu bersifat menumbuhkan sentimen untuk tujuan dominasi kepentingan sempit. Visi-misi yang sudah dicanangkan pun seolah hanya menjadi tuntutan dan kewajiban buat orang lain untuk mewujudkannya. Dengan mendeklarasikan visi-misi, yang pasti indah dan hebat, dianggapnya sudah sebagai sosok super. Lupa bahwa disamping mendeklarasikan justru juga berkewajiban harus menjadi teladan dan pelopor untuk mewujudkan. Kalimat cerdas ditunjang keterampilan bertutur santun, penuh senyum dikulum, bisa saja membuat terlena lawan bicara maupun audien, sehingga menyihir sejenak seolah apa yang disampaikan adalah benar adanya. Namun ada yang dilupakan. Lawan bicara tidaklah hanya punya otak, tapi juga punya hati. Kecerdasan otak bisa diukur dari derajat akademis, status, jabatan.
Tapi kecerdasan hati tidak bisa dibatasi segala macam atribut status sosial ataupun pendidikan formal. Kecerdasan hati bahkan tidak bisa dipasung maupun dibonsai dengan indoktrinasi. Kecerdasan hati akan menembus dan merontokkan batas-batas maupun sekat-sekat yang dibuat oleh kecerdasan otak/kepala. Kecerdasan hati menyampaikan pesan secara hitamputih, apa adanya. Barangkali, hal-hal inilah yang menyebabkan ada sosoksosok yang justru menyentuh dan mendapat tempat di hati banyak orang secara lintas sekat meski bertuturnya ”ndesa”, gaya bertutur tidak sesuai dengan kriteria santun yang ada, bahkan sempat diopinikan tidak sesuai budaya timur. Gesturnya juga tidak ”jaim” (karena ada juga pemahaman yang santun itu identik dengan jaga image). Berbusana bersahaja (tidak menggunakan safari, jas mahal mumpung dibiayai APBN/APBD).Tidak berkendarara dengan mobil merk papan atas, meski sebetulnya itu mobil dinas, hingga diberi predikat bergaya koboi. Sudah saatnya menempatkan makna santun secara semestinya. Santun yang tidak dimaknai sebagai asesoris, label, brand, atribut, maupun isu pembentuk opini. Santun yang tidak lagi diartikan sebagai dominasi rezim kecerdasan otak.
Santun tidak lagi didefinisikan sebatas permainan tutur kata dan gaya bahasa. Santun yang bisa diklaim sebagai alat penyekat. Santun harus lebih dimaknai sebagai sikap. Karena sikap akan lebih jujur dari permainan kata-kata. Santun semestinya akan menghasilkan keselarasan antara kecerdasan otak dan kecerdasan hati. Sehingga yang terungkap secara verbal akan selaras dengan bahasa tubuh. Bahasa verbal karena bersumber di otak, bisa dimanipulasi. Tapi bahasa tubuh tak akan bisa menipu. Santun semestinya identik dengan ketulusan. Tanpa hati, kata-kata menjadi tidak berarti. Ada benarnya. Inilah yang membuat sosok Iwan Fals terasa berjiwa, berkarisma, tetap menyentuh, dan jangan lupa juga tetap santun. Meski dalam syair lagunya ada kemarahan, bahkan umpatan. Jadi, jangan dengan dalih santun, merusak keselarasannya. Agar tak lagi membiarkan santun sebatas sebagai kemasan kemunafikan.
Purnomo Iman Santoso-EI
Villa Aster II G 10, Srondol
Semarang