Makna Berbakti
Sekarang anak adalah konsumen potensial dari berbagai industri. Ditunjang canggihnya teknologi, anak-anak jadi target. Yang membuat miris, industri yang cenderung konsumtif pun berlomba menggarap anak sejak dini. Dulu, mata anak digoda saat ke toko, mal. Kalau tak usah ke luar rumah anak digoda lewat televisi.
Terkini, tak lagi melalui TV. Era digital, gadget2 mudah didapat, anak-anak pun gampang menemui tayangan yang menggoda melalui dunia maya. Setiap saat, dimana saja.
Pada acara halalbihalal kemarin, bertemu dengan anak-anak pertukaran pelajar dari Belgia, lnggris, Brasil. Ternyata di negaranya, di usianya, smartphone, ipad bukan kebutuhan wajib. Mungkin, dalam hati mereka kagum atas ke-”modernan” anak Indonesia.
Orang tua secara naluri akan sayang anak.Ada yang dengan menuruti semua keinginan anak. ”Dari pada rewel, kasihan”. Ada yang menyayang dengan ”harus” sesuai kehendak orang tua, dengan dalih berbakti. Godaan untuk konsumtif yang sudah ditanamkan sejak dini digenapi kecenderungan orang tua, dengan dalih sayang anak, ada yang menafsirkan kebutuhan anak dengan uang dan barang.
Mudah dijumpai anak belum cukup umur bersepeda motor, menyetir mobil, bersmartphone. Betulkah anak membutuhkan itu semua sebagai yang utama? Atau itu bentuk ”suap” dari ortu ke anak, dengan dalih sibuk cari uang. Atau dengan alasan ”wong ada (duit) kok”. Melimpahi dengan barang dan mungkin juga uang yang sebetulnya hanyalah ”asesoris”.
Akan lebih menantang bila mewujudkan rasa sayang dengan memberi ruang untuk menggali potensi diri, membuka wawasan, agar tidak berlari bagai memakai ”kaca mata kuda”. Potensi diri tak selalu identik dengan nilai akademis hebat merata. Apa artinya ranking (terus), tapi itu semua ambisi dan prestasi orang tua. Jadilah hanya kemasan. Orang tua bangga anak berbakti, padahal anak bingung cari jati diri. Dalam hati kecil, anak pasti lebih jujur.Sadar bahwa segala ”penaklukan sosialnya” itu semu. Si anak malah mendambakan seperti temannya yang tetap bisa menonjol meski tidak tampil ”sempurna”, tapi bisa menikmati kesukaannya bermusik, olahraga, temannya melimpah dan tetap natural apa adanya. Ada orang tua sayang dengan cara ”kalau ranking dibelikan motor”.Apa jadinya bila si anak hanya mau sikat gigi kalau diberi hadiah. Atau hanya mau sekolah bila dibelikan mobil. Terbiasa diiming-imingi, kesadaran diri tidak tumbuh. Sebaliknya, kalau tak naik kelas dianggap aib. Sekolah diartikan sebagai selalu naik kelas. Bukankah di kehidupan nyata sukses tertunda/gagal (juga) akan mewarnai perjalanan, bukan hanya sukses. Minat tak mutlak terpetakan oleh kurikulum. Belum lagi tak semua guru bisa menggugah minat. Maklum, murid banyak, karakter juga beragam. Minat sering ditemukan justru secara ”ekstrakurikuler”.
Di era IT, saat aneka produk industri berlomba menggoda, sudah sangat bersyukur bila anak tidak memakai kaca mata (karena mata minus), gigi tidak lubang, tidak larut gaya hidup serba instan, tetap suka sayur dan buah. Juga, sangat bersyukur anak bisa tetap menikmati minat/hobinya, tetap bangkit dari kegagalan dan berprestasi.Bahkan, saat harus berbeda (minat/pendapat) dengan orang tua. Ketika definisi berbakti harus direvisi. Agar berbakti tidak disalah arti ambisi orang tua mendominasi. Untuk memberi kesempatan buah hati aktualisasi diri. Meski rasa khawatir (bisa) membayangi. ”While we try to teach our children about life, our children teach us what life is all about” (Angela Schwindt).
Purnomo Iman Santoso-EI Villa Aster lI Blok G No 10 Srondol, Semarang 50268