Wednesday, March 05, 2014

Gotong Royong

Harian Suara Merdeka tanggal 5 Maret 2014


Indonesia beli pesawat kepresidenan. Saat mendengar berita tersebut tidak ada kesan bangga. Dalam hati justru bertanya-tanya, apa sudah saatnya? Tapi toch sudah disetujui oleh wakil rakyat.
Berbeda kalau beritanya adalah IPTN mengekspor pesawat buatan Indonesia. Pasti bangga. Hal yang mirip ketika ada berita DPR mau membangun gedung baru dengan segala fasilitasnya. Reaksi spontan, buat apa? Argumennya, karena gedung sudah sesak. Berpikir sederhana, yah... wakilnya tak usah banyakbanyak, toch saat sidang sering banyak yang absen sehingga ruang sidang terasa kosong.
Tapi saat KPK butuh gedung baru, reaksi warga sudah semestinya, karena melihat upaya KPK dengan segala keterbatasannya melakukan yang terbaik demi bangsa ini. Maunya wakil rakyat membangun gedungnya lebih dahulu. Rakyat justru melihat yang mendesak justru gedung KPK. Maka, ketika anggaran untuk pembangunan gedung KPK dinilai kurang lancar, berbelit, dan sulit, warga pun secara sukarela bersiap urunan.
Ada satu masa, bangsa ini dikotak-kotak. Semboyan negara pusaka warisan ”founding father”, dibuat rancu. Bersyukur bangsa Indonesia tak mau warisan penjajah dilestarikan. Semboyan negara Bhineka Tunggal Ika, harus kembali tegak dan kokoh. Dicabutlah berbagai aturan. Simbol-simbol diskriminasi tak sebagai pembenar lagi.
Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu. Ada semangat kebersamaan, persatuan, sebetulnya sudah mengakar kuat di masyarakat keseharian, meski sempat akan digerus oleh sistem di masa lalu. Namun, semangat pengkotakan tak serta merta sirna. Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang sarat semangat ”rawerawe rantas malang-malang putung”, gotong royong, dibuat sempit.
Dengan mencatut nama rakyat, upaya saling pengkotakan untuk mendominasi terjadi antarlembaga negara. Berbeda-beda tapi tetap satu diterjemahkan saling menjegal dengan tujuan untuk berujung kompromi.
Sayang bukan untuk kepentingan luas. Hal yang pasti diingkari meski akhirnya terbukti saat di persidangan tipikor. Jaksa KPK beberapa kali menayangkan rekaman pembicaraan persekongkolan. Di Surabaya, bahkan lebih aneh lagi.
Yang oposisi maupun yang koalisi bersatu di gedung wakil rakyat untuk memakzulkan wali kota yang belakangan terbukti banyak kebijakannya justru berpihak kepada rakyat dan mendapat berbagai penghargaan internasional. Sementara di DKI, kebutuhan 200 unit truk sampah harus melalui beraneka dalih rumit, betele-tele, seperti tak sadar bahwa sampah cepat membusuk dan menebarkan penyakit dengan korban warga.
Ketika suaranya dikomoditaskan, rakyat pun tidak tinggal diam. Warga, meski sudah bayar beraneka pajak, siap urunan untuk membeli truk sampah hingga menyumbang truk demi tercipta Jakarta yang bersih dan sehat untuk bersama. Kematangan masyarakat ternyata tidak sepenuhnya diikuti oleh elite.
Aneh memang, yang seharusnya menjadi teladan justru sering bersikap dengan semangat lawas. Bila terpilih benar-benar oleh rakyat, pemimpin semestinya tidak perlu ragu, tak perlu sibuk buat koalisi hanya karena takut dijegal oleh wakil rakyat, karena rakyat akan bersikap.
Rakyat secara langsung akan mendukung pemimpin yang berpihak kepadanya. Siap bekerja bhakti tanpa harus ada koordinator lapangan. Siap beraksi konstruktif spontan, dan bersikap tanpa perlu aba-aba untuk menyatukan langkah.
Dari masa ke masa selalu siap dengan bukti. Saat wakilnya jumawa dan keranjingan jurus modern yang disebut dengan voting, ketika elite asyik dengan jurus kongkalikong, maka rakyat dengan segala kerendahan hati akan mengedepankan kearifan lokal warisan nenek moyang yang disebut gotong royong.
Purnomo Iman Santoso-EI Villa AsterII Blok G No 10 Srondol, Semarang 50268