Thursday, April 25, 2013

Naik Kereta Api Yuk...

Harian Suara Merdeka tanggal 25 April 2013


Saat saya masih anak, tahun 1970-an, melihat kereta api (KA) melintas berarti harus berjalan kaki sejauh satu kilometer dari rumah, petang hari. Meski demikian, masih beruntung, karena KA saat itu masih dimanfaatkan sebagai moda transportasi umum. Tahun 75-an KA perlahan tapi pasti perannya meredup. Banyak stasiun yang tak terawat. Diikuti beralih fungsinya area sekitar stasiun jadi warung hingga kios.
Rel pun mulai hilang ''ditelan bumi" karena pelebaran jalan, dan lainnya. Gerbong, lokomotif, entah kemana, karena transportasi mulai digantikan produk industri otomotif melalui bertebarannya kendaraan pikap/minibus merk Mitsubishi yang larinya lebih kencang dari kereta api. Tahun 1998-an saya naik KA. Stasiun jauh dari tertib, calo karcis berkeliaran.
Saat itu di kelas bisnis, di gerbong banyak pedagang asongan, tukang ngamen hilir mudik sepanjang perjalanan. Asap rokok memenuhi gerbong. Meski sudah menjadi mantan perokok, kepala terasa pusing dan nafas sesak.
Sejak tahun 2009 saya sering ke Surabaya dengan naik KA Rajawali. Perjalanan sudah lebih nyaman. Gerbong lumayan bersih, jam perjalanan relatif tertib, tak ada lagi asap rokok. Hingga kini, saya lebih sering menggunakan kereta bila bepergian ke Surabaya atau Jakarta.
Pertengahan Februari 2013 ke Surabaya. Ternyata sudah semakin tertib. Area tunggu dengan kursi berjajar rapi di Stasiun Tawang atau Pasar Turi. Bahkan pengantar sudah tak lagi diizinkan masuk ke peron, penumpang harus menunjukkan KTP. Tak cocok ditolak. Petugasnya muda-muda dan disiplin. Gerbong semakin bersih.
Polisi khusus KA (Polsuska) yang masih muda-muda hilir mudik, termasuk memeriksa pintu-pintu gerbong, memberi rasa aman pada penumpang. Di perjalanan nampak pengerjaan rel ganda sudah menuju ke arah Surabaya. Stasiun-stasiun direnovasi, diperbaiki, logo baru dan corporate identity baru, warna abu-abu tua dan oranye serta tanda panah. Menurut perkiraan saya, bermakna "bergerak cepat/melesat".
Ada kabar, sejak Lebaran tahun 2012, PT KAI menerapkan kebijakan bahwa penumpang harus duduk. Belum selesai gaung berita positif ini, ternyata berita gembira terus berlanjut. Bahwa semua gerbong kelas ekonomi akan segera ber-AC.
Pelayanan pembelian tiket pun secara online. lni wujud kepedulian PT KAI untuk mencegah masyarakat jadi korban calo, tak sebatas slogan dan jargon. Bahkan tiket bisa dibeli di mini market online modern yang tersebar hingga pelosok. Ada kenaikan harga tiket, namun dengan kemudahan dan peningkatan layanan, seharusnya harga menjadi jauh lebih realistis, dan setimpal, manusiawi. Daripada karcis murah meriah, namun kereta kotor, tak aman, penumpang berjejal, bahkan di atap dengan risiko bertaruh nyawa hingga cacat, celaka.
Tidak terbayang bila rel ganda rampung. Frekuensi perjalanan KA akan meningkat pesat. Ini sepertinya akan terealisasi dalam waktu tidak Iama. Jakarta-Suraba­ya PP akan ditempuh dalam waktu jauh lebih singkat.
Kalau sekian waktu lalu di tempat strategis atau jalan raya sering dipasang papan safety riding, safety driving, pemberitahuan jumlah MD (meninggal dunia), LB (luka berat), LR (luka ringan), sekarang papan tersebut tak lagi nampak (mencolok) Iagi.
Yang perlu dicermati, hilang-nya papan-papan tersebut tampaknya bukan karena zero accident. Bisa jadi, mungkin, karena jumlah kecelakaan lalu lintas cenderung meningkat (pesat) dari waktu ke waktu.
Kalau sudah begini, apakah masih mau mengemudi jarak jauh, mudik naik sepeda motor antarkota. Naik kereta api yuk...Sekarang sudah jauh lebih nyaman dan aman.
Namun toh ada kejadian yang mengusik nurani. Di tengah upaya e-tiketing penataan jadwal kereta api yang belum sempurna di Jabotabeka, seperti ditayangkan salah satu TV swasta, ada ketidakpuasan yang disalurkan dengan merusak sarana dan fasilitas di salah satu stasiun KA.
Banyak yang sudah telanjur jatuh cinta pada layanan PT KAI. Rasanya sungguh tidak rela upaya konstruktif justru direspon (sege­lintir orang) dengan semangat destruktif.
Albert Einstein bilang bahwa energi itu kekal adanya. Jadi, bila menebar energi meru­sak/negatif, kelak energi itu juga yang akan dituai. Juga sebaliknya. Tak bisa dihindari.
Harapannya, masyarakat dan PT KAI bisa tumbuh kembang saling menyayangi. Memang, ada yang belum sempurna dalam pelayanan. Namun, seharusnya menjadi hal yang dimaklumi, karena aura memberikan yang terbaik energi positif, terpancar kuat dari jajaran PT Kereta Api Indonesia. Terus tingkatkan kualitas service-security-respon. Maju terus PT KAI sebagai sarana moda transportasi masyarakat luas. Semua akan indah pada waktunya.
Purnomo Iman Santoso EII
Villa Aster II Blok G No 10
Srondol, Semarang 50268

Thursday, April 11, 2013

Maktun Memberi Contoh Tindakan Kasih dan Ikhlas

Harian Suara Merdeka tanggal 11 April 2013

Minggu siang,31 Maret 2013, sambil beraktivitas di rumah, saya sempat mengikuti berita di salah satu stasiun televisi swasta. Berita yang menarik perhatian adalah tentang seorang pemulung, yang hidup bersama 13 ekor anjingnya di kolong jembatan. Saya buru-buru melihat, ternyata hanya kebagian ujung berita.Tak lengkap, hanya sempat mendengar bahwa pemilik anjing bernama Maktun, tinggal di kolong salah satu jembatan di Semarang. lseng-iseng saya tanya ke berapa teman, terkait lokasinya. Ternyata mereka tidak mengikuti berita tersebut. Seingat saya, ada kisah serupa dimuat di Suara Merdeka beberapa tahun Ialu. Juga kisah pemulung dengan puluhan anjing peliharaannya, kalau tidak salah di Purwokerto. Kejadian banjir besar beberapa bulan lalu di Jakarta, juga telah memunculkan relawan yang tak hanya menolong sesama warga, tetapi juga menolong binatang peliharaan, termasuk di antaranya adalah anjing. Konon dalam melaksanakan tugas, para relawan sering mendapat pertanyaan minor, "kok menolong anjing? Kok menolong binatang?" Kehadiran sosok pemulung merawat anjing begitu banyak adalah hal luar biasa. Suara hati sebenarnya ada di setiap insan ciptaan-Nya. Tinggal tergantung masing-masing, apakah mau mendengar dan merespon? Suara hati pada dasarnya tak bisa diurai dengan logika maupun dogma. Hebatnya lagi adalah tak berkasta. Kalau mengingat ini, tak terbantahkan, hanya cinta dan ketulusan sosok Maktun yang membuatnya ikhlas merawat anjing-anjing itu dengan sarat kasih sayang menembus keterbatasan, bahkan tembok-tembok prasangka sosial yang mengepungnya. Jangankan terhadap binatang, sesama manusia pun bisa terjadi pro dan kontra. Namun kalau kita mau mengingat bahwa semua adalah ciptaan-Nya, mungkin akan meredam hasrat untuk meluapkan rasa tidak suka, benci, atau hal negatif Iain. Pada hakikatnya, Sang Maha Kuasa pasti punya dalih sahih dan canggih, yang menjadi dasar mengapa mereka tercipta untuk kita . Berikut saya kutip ungkapan di blog www.purisa13.blogspot.com berjudul

''Sang Malaikat Penghibur''.
  
Jika kau punya anjing, kau akan belajar bagaimana mencintai dengan tulus dan tanpa pamrih. 
Jika kau punya anjing, kau akan melihat cinta yang ia berikan padamu. Walau ia diabaikan dan disakiti, ia tetap menyambutmu dengan senyuman terbaiknya. 
 Jika kau punya anjing, kau punya teman terbaik yang pernah ada. la akan selalu berusaha berada di sampingmu selama mungkin, dan menemanimu melewati hari-hari yang buruk. la pendengar yang baik, dan perespon yang baik. 
Jika kau punya anjing, kau punya dokter pribadi yang membuatmu melupakan segala sakit hati, dan membuatmu kembali tersenyum. Ia akan bertingkah seolah menghiburmu. "Hey, kau masih memilikiku di dunia ini". 
Jika kau punya anjing, dia adalah bodyguard yang bisa dipercaya. Tak peduli seberapa ukuran mereka, akan melindungimu sepanjang waktu kehidupannya. 
Jika kau punya anjing, perlakukanlah mereka dengan baik, sebab mereka adalah malaikat penghibur yang berumur pendek. Mereka adalah makhluk luar biasa yang pernah diciptakan Tuhan. 
Yang memiliki naluri yang sangat peka, setia dan tak pernah mengeluh.
Purnomo Iman Santoso-EI Villa Aster II Blok G No 10 Srondol, Semarang 50268 * * *

Tuesday, April 09, 2013

Centeng dan Preman

Harian Suara Merdeka tanggal 09 April 2013 Saya penggemar komik maupun novel (khususnya novel petualangan) sejak kecil. Si Pitung dan lainnya, hingga komik Kho Ping Ho dengan tokoh Pendekar Seruling Emas serta yang lain, maupun komik Gan KL dengan Pendekar Binal dan lakon Siauw Hi Jie, Memanah Burung Rajawali dengan sosok Yoko, dan sebagainya. Ada lagi kisah Musashi, sang samurai sejati. Juga Zorro, Spiderman, Superman, Batman, Robin Hood. Belum lagi kisah wayang. Semua itu sangat akrab di benak. Cerita dengan berlatar belakang budaya Indonesia, Tiongkok, Jepang, Eropa, selalu ada kesamaan, karena menggambarkan sisi penindas dan tertindas. Di tengahnya ada yang bangkit. Membekali diri dengan menuntut ilmu, akhirnya menjadi sosok tangguh yang mandiri, dan berpihak pada kebenaran. Sosok-sosok ini kemudian menjadi orang independen, orang bebas yang terpanggil berpihak membela kebenaran. Ada artikel menuliskan bahwa sosok si Pitung adalah sosok vrijeman yang belakangan populer dengan sebutan preman. Namun, entah karena kekurangtahuan atau kurang membaca komik, justru sebutan preman sering berkonotasi negatif. Pihak berwajib juga sering menyebut-nyebut saat terjadi masalah Kamtibmas. Para pendekar di cerita komik selalu berpihak pada kebenaran. Penampilan mereka digambarkan berbudi pekerti, berwawasan dan beretika, ksatria, bersahaja. Para "si pitung" tak pamer senjata.Si Buta dari Gua Hantu atribut-nya kera, karena kemana pun ditemani seekor kera. Seorang Musashi meski samurai sejati tak selalu menggunakan pedang/samurai. Untuk meladeni para centeng, Musashi bisa melawan dengan (hanya) sebatang bambu. Lain lagi Kim Mo Eng yang selalu menggunakan seruling emas dan kipas sebagai bekal bela dirinya. Pendekar Kim Mo Eng julukannya setan berhati emas. Julukan ini karena ilmu silatnya yang aneh seperti gerakan setan, bukan karena perilakunya. Panji Tengkorak, dia sebenarnya mantan anak buah gerombolan Kebobeok, gerombolan penjahat kejam. Menggunakan topeng tengkorak bukan untuk menakuti, tetapi bentuk penyamaran saat dia melawan dan akhirnya menumpas gerombolan Kebobeok. Penampilan centeng sebaliknya. Digambarkan arogan, adigang adigung, senjata dipamerkan, menutup satu mata dengan penutup hitam (karena belum ada kacamata hitam). Memamerkan muka bercodet (mungkin karena tato belum ada di era itu). Sarat semangat menakuti yang lemah. Mereka membela siapa saja yang mampu membayar. Sekedar saran, alangkah bi-jaknya bila mau membaca komik-komik karya anak bangsa, ttanpa kecuali juga komik terjemahan, untuk lebih memahami perbedaan centeng dan preman. Meski orang sering memandang remeh komik, namun sebenarnya banyak pesan dan filosofi yang tetap relevan di jaman sekarang. Saya pernah membaca artikel di sebuah koran nasional, para preman/vrijeman di daerah perkebunan jaman penjajahan Belanda dulu, adalah tokoh perlawanan kepada penjajah. Bahkan waktu itu ikut mengusir para penjajah dari bumi Nusantara. Siapa lawan para preman/vrijeman?Di samping melawan penjajah, mereka melawan para centeng yang menjadi kaki tangan penjajah. Wow ..., kalau begitu kisah di komik dan artikel tulisan para orang pintar yang melakukan kajian akademik, jadinya nyambung. Ternyata vrijeman/preman adalah orang-orang bermartabat dan bernilai. Kehadiran mereka justru memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat. Para pengarang komik sejatinya menyampaikan pesan kebaikan dalam setiap karyanya. Sehingga saat mereka mengimajinasikan sosok para vrijeman yang menjadi pendekar, dan para centeng di sisi sebaliknya, yakin juga ada semangat seperti para pujangga pengarang Mahabarata. Menggambarkan sosok Pandawa yang sarat semangat pembela kebenaran dan sosok Kurawa sebagai spirit aneka keculasan dan keserakahan. Kalau melihat fenomena sekarang, jangan-jangan sosok si Pitung dan lainnya yang tulen, karena panggilan hati membela kebenaran, akhirnya telah terstigma. Di sisi lain ngetrennya perilaku menakuti, memalak, intimidasi, untuk jadi alat mencari uang. Spirit membuat masyarakat takut dengan cara apa saja, dari berbagai atribut, bahkan tanpa kecuali menyalahgunakan tato yang sebenarnya karya seni. Sudah saatnya menggunakan istilah yang semestinya. Bukan istilah yang biasanya. Setidaknya, agar tidak melupakan sejarah. Purnomo Iman Santoso-EI Villa Aster II Blok G No 10 Srondol, Semarang 50268