Menyetop Angin?
Mengutip cuplikan artikel ‘’Bang Ali Dalam Kenangan’’ oleh Chris Siner Key Timu: Presiden Soekarno menunjuk Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI karena dia tegas, keras, dan berani. Dilantik sebagai Gubernur tahun 1966. Filosofi Bang Ali membangun Jakarta ialah memberi pelayanan bagi masyarakat sejak dalam kandungan sampai meninggal. Presiden Soekarno tidak salah pilih. Bang Ali mewujudkan pelayanan bagi masyarakat. Meski menuai kontroversi, lebih memilih membuat terobosan untuk menembus keterbatasan. Daripada ingin populer namun hanya mengeluh dan sarat wacana. Dengan ketegarannya terus melangkah dan mengembalikan semua hasil program untuk mewujudkan kepentingan pelayanan bagi masyarakat seluas-luasnya.
Pilihan realistis, dibanding sarat kemasan bahkan dalih-dalih surgawi, namun hasilnya hanya untuk kepentingan pribadi/kelompok. Tak heran jika Bang Ali dikenang sebagai Gubernur DKI yang legendaris. Presiden berganti. Bang Ali pun diganti. Gubernur Tjokropranolo menggantikan Bang Ali. Berbeda dari Presiden Soekarno yang menunjuk Ali Sadikin karena karakter tegasnya.
Presiden Soeharto menunjuk Gubernur Tjokropranolo juga dengan kriterianya. Gubernur berganti, ada Wiyogo, Suryadi Sudirdja, Suprapto sampai Bang Yos/Sutiyoso, Fauzie Bowo. Banyak program hebat yang dicanangkan oleh masing-masing. Ada Jakarta bebas becak dengan mencemplungkan becak ke laut agar jadi terumbu karang, ruang terbuka hijau, hingga pembangunan jalur dan pengoperasian busway. Namun fakta bahwa Jakarta semakin semerawut sangat sulit dipungkiri. Kemacetan kronis, banjir akut, kriminalitas merebak, pelayanan publik buruk, adalah kenyataan yang tak terbantahkan.
Hingga akhirnya rakyat memilih Gubernur dan Wakil, Jokowi-Ahok. Kenapa dipilih? Karena semangat mereka mau melayani masyarakat. Warga berpikir sederhana, apa artinya program hebat/muluk-muluk kalau tidak dapat dirasakan masyarakat? Gubernur baru dengan program baru, mewarisi segala permasalahan kompleks warisan dari gubernur sebelumnya. Jokowi-Ahok, yang satu berpenampilan ‘’ndesa’’ untuk ukuran warga metropolitan, dengan kebiasaan blusukan. Sedang wakilnya berbahasa lugas, sederhana, yang sempat diopinikan ‘’tak sesuai adat ketimuran(?)’’ karena tak fasih berbasa-basi yang mudah bias, hingga otoriter (saat menegakkan aturan yang ada). Segera bekerja. Meski di awal kiprahnya bukannya didukung. Programnya sempat mendapat kritik bertubi, bahkan berbau provokasi dan intimidasi. Lelang jabatan dikritik lantang, pembenahan waduk ditentang, penataan PKL ditantang.
Alam telah menghembuskan angin perubahan. Reformasi birokrasi jalan terus, jabatan dilelang untuk mendapatkan sosok yang benar-benar kompeten. Lelang jabatan untuk mencari birokrat yang benar-benar abdi masyarakat sesuai sumpah jabatan. Bukan birokrat titipan yang abdi atasan. Akhirnya penertiban PKL Tanah Abang dipatuhi, waduk-waduk dikeruk, dibenahi, monorel siap dibangun cepat dalam waktu sangat dekat.
Mungkin ada yang merasa paling pintar menyebut bahwa apa yang dilaksanakan sekarang biasa-biasa saja. Kritikan usang ini tak layak ditanggapi. Pokoknya terus berkarya. Apa arti (master plan) yang genius sekali pun kalau hanya di atas kertas, dan jadi bahan debat, diskusi para ahli ? Apa artinya pintar namun lari dari masalah?
Alam telah menghembuskan angin perubahan. Ketegasan pun tak lagi dikaitkan karena korp, sosok tegap, beking, titel akademis (impor) berderet, predikat brillian, atribut agamis, dukungan massa, tatto, kaca mata hitam, dan sejenisnya yang populer selama ini. Ketegasan telah menemukan definisinya yang sejati. Ketegasan akan muncul dengan sendirinya karena menjalankan tugas dan tanggung jawab dengan bebas konflik kepentingan sempit dan tulus-ikhlas dalam berkarya.
Itu angin alami, sepoi, tetapi pasti dan menyegarkan. Bukan dari kipas angin yang bisa diatur dengan instrumen dan tombol-tombol on/off sesuai kepentingan pengguna. Bersyukur, alam tak menghibahkan badai dan angin topan. Kehidupan bukan dalil/rumus ilmu pasti. Selalu memunculkan hal-hal yang di luar rencana, di luar niat manusia. Saat angin perubahan berhembus, suara hati pun mengalahkan sang ahli. Apa pun, kalau semesta sudah berkehendak untuk terjadi, tak akan ada yang bisa menghentikannya. Menyetop angin? Bukan kodrat manusia!
Purnomo Iman Santoso-EI
Villa Aster II Blok G No 10
Srondol, Semarang 50268