Friday, November 22, 2013

Menyetop Angin?

Harian Suara Merdeka tanggal 23 November 2013


Mengutip cuplikan artikel ‘’Bang Ali Dalam Kenangan’’ oleh Chris Siner Key Timu: Presiden Soekarno menunjuk Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI karena dia tegas, keras, dan berani. Dilantik sebagai Gubernur tahun 1966. Filosofi Bang Ali membangun Jakarta ialah memberi pelayanan bagi masyarakat sejak dalam kandungan sampai meninggal. Presiden Soekarno tidak salah pilih. Bang Ali mewujudkan pelayanan bagi masyarakat. Meski menuai kontroversi, lebih memilih membuat terobosan untuk menembus keterbatasan. Daripada ingin populer namun hanya mengeluh dan sarat wacana. Dengan ketegarannya terus melangkah dan mengembalikan semua hasil program untuk mewujudkan kepentingan pelayanan bagi masyarakat seluas-luasnya.
Pilihan realistis, dibanding sarat kemasan bahkan dalih-dalih surgawi, namun hasilnya hanya untuk kepentingan pribadi/kelompok. Tak heran jika Bang Ali dikenang sebagai Gubernur DKI yang legendaris. Presiden berganti. Bang Ali pun diganti. Gubernur Tjokropranolo menggantikan Bang Ali. Berbeda dari Presiden Soekarno yang menunjuk Ali Sadikin karena karakter tegasnya.
Presiden Soeharto menunjuk Gubernur Tjokropranolo juga dengan kriterianya. Gubernur berganti, ada Wiyogo, Suryadi Sudirdja, Suprapto sampai Bang Yos/Sutiyoso, Fauzie Bowo. Banyak program hebat yang dicanangkan oleh masing-masing. Ada Jakarta bebas becak dengan mencemplungkan becak ke laut agar jadi terumbu karang, ruang terbuka hijau, hingga pembangunan jalur dan pengoperasian busway. Namun fakta bahwa Jakarta semakin semerawut sangat sulit dipungkiri. Kemacetan kronis, banjir akut, kriminalitas merebak, pelayanan publik buruk, adalah kenyataan yang tak terbantahkan.
Hingga akhirnya rakyat memilih Gubernur dan Wakil, Jokowi-Ahok. Kenapa dipilih? Karena semangat mereka mau melayani masyarakat. Warga berpikir sederhana, apa artinya program hebat/muluk-muluk kalau tidak dapat dirasakan masyarakat? Gubernur baru dengan program baru, mewarisi segala permasalahan kompleks warisan dari gubernur sebelumnya. Jokowi-Ahok, yang satu berpenampilan ‘’ndesa’’ untuk ukuran warga metropolitan, dengan kebiasaan blusukan. Sedang wakilnya berbahasa lugas, sederhana, yang sempat diopinikan ‘’tak sesuai adat ketimuran(?)’’ karena tak fasih berbasa-basi yang mudah bias, hingga otoriter (saat menegakkan aturan yang ada). Segera bekerja. Meski di awal kiprahnya bukannya didukung. Programnya sempat mendapat kritik bertubi, bahkan berbau provokasi dan intimidasi. Lelang jabatan dikritik lantang, pembenahan waduk ditentang, penataan PKL ditantang.
Alam telah menghembuskan angin perubahan. Reformasi birokrasi jalan terus, jabatan dilelang untuk mendapatkan sosok yang benar-benar kompeten. Lelang jabatan untuk mencari birokrat yang benar-benar abdi masyarakat sesuai sumpah jabatan. Bukan birokrat titipan yang abdi atasan. Akhirnya penertiban PKL Tanah Abang dipatuhi, waduk-waduk dikeruk, dibenahi, monorel siap dibangun cepat dalam waktu sangat dekat.
Mungkin ada yang merasa paling pintar menyebut bahwa apa yang dilaksanakan sekarang biasa-biasa saja. Kritikan usang ini tak layak ditanggapi. Pokoknya terus berkarya. Apa arti (master plan) yang genius sekali pun kalau hanya di atas kertas, dan jadi bahan debat, diskusi para ahli ? Apa artinya pintar namun lari dari masalah?
Alam telah menghembuskan angin perubahan. Ketegasan pun tak lagi dikaitkan karena korp, sosok tegap, beking, titel akademis (impor) berderet, predikat brillian, atribut agamis, dukungan massa, tatto, kaca mata hitam, dan sejenisnya yang populer selama ini. Ketegasan telah menemukan definisinya yang sejati. Ketegasan akan muncul dengan sendirinya karena menjalankan tugas dan tanggung jawab dengan bebas konflik kepentingan sempit dan tulus-ikhlas dalam berkarya.
Itu angin alami, sepoi, tetapi pasti dan menyegarkan. Bukan dari kipas angin yang bisa diatur dengan instrumen dan tombol-tombol on/off sesuai kepentingan pengguna. Bersyukur, alam tak menghibahkan badai dan angin topan. Kehidupan bukan dalil/rumus ilmu pasti. Selalu memunculkan hal-hal yang di luar rencana, di luar niat manusia. Saat angin perubahan berhembus, suara hati pun mengalahkan sang ahli. Apa pun, kalau semesta sudah berkehendak untuk terjadi, tak akan ada yang bisa menghentikannya. Menyetop angin? Bukan kodrat manusia!
Purnomo Iman Santoso-EI
Villa Aster II Blok G No 10
Srondol, Semarang 50268

Sunday, November 17, 2013

Anak Pintar Tak Boleh Rewel?

Harian Suara Merdeka tanggal 18 November 2013

 
Konon, Broni-Mero-Mopi segera berlarian ke depan saat mendengar suara mobil. Ketika ternyata bukan, ketiganya kecewa, menunggu terus menghadap dan menatap pintu lekat-lekat, berlama-lama.
Sebaliknya, Broni cs terlihat lesu, tak bersemangat, dan ngumpet di bawah meja bila tahu saya membawa tas, memakai sepatu, bersiap mau pergi. Meski diam, nalurinya tahu kalau mau ditinggal.
Teringat Mero, yang ini kucing dan diberi nama Mero karena pemberani. Akan segera berlarian lincah, datang entah darimana, tahu-tahu mendahului serta sudah siap di depan pintu, saat mendengar dari kejauhan suara mobil tua saya. Menyambut dengan pandangan mata bening tulus jenaka. Di waktu berbeda, Broni-Mero-Mopi, instingnya sangat tajam.Jadi meski belum tiba, mereka sudah menunggu terus di sekitar pintu, masing masing ingin jadi yang pertama untuk menyambut. Akan berlarian tak karuan, merangsek kesetanan. Butuh waktu untuk membuatnya tenang. Setelah tenang baru minum dan mau makan. Mungkin, karena yang datang dianggap ”ayah’’ mereka. Meski bukan ayah kandung. Rasa letih pun sirna.
Lupa persisnya, namun katanya itu jaman Gerakan 30 September (G30S) Partai Komunis Indonesia (PKI). Ayah waktu itu mengidap suatu penyakit. Tak tahu istilah medisnya, karena masih kecil/usia awal TK. Yang teringat ayah sering mengeluh tulangnya ada yang ngilu. Begitu sakitnya, atas saran mantri, juga saudara-saudara, disuruh berobat ke Bandung.
Saat-saat paling sedih yaitu bila ayah ke Bandung, atau ditinggal Ibu ke Purwokerto untuk belanja obat batik, atau ditinggal ke Magelang menengok kakek/nenek. Duduk di depan pintu halaman rumah, melihat ke jalan, tiap sore, meski sudah diberitahu bahwa hari tersebut belum saatnya pulang. Ada rasa sendiri dan luar biasa sepi. Meski saat ada orang tua sering bising diomeli. Malam hari tak bisa tidur cepat.
Hati senang luar biasa ketika dari kejauhan terlihat becak yang membawa ayah/ibu datang. Segera saya  berlari sambil teriak memanggil kakak. Kalau melihat Broni cs menyambut, terbayang saat masa kecil me­nyambut kedatangan orang tua. Ada kegembiraan luar biasa. Sadar, ternyata ”kegilaan” Broni cs sebetulnya juga ”kegilaan” kanak-kanak menanti kepulangan orang tua dari bepergian.
Apalagi di usia yang masih sangat butuh pendampingan orang tua. Maklum, memang ada kesepian yang menyesakkan. Bibir tak berucap, tapi hati kecil menjerit. Jadi, lambaian tangan mungil, bisa hanya ”ritual” rutin demi doktrin/cuci otak ”anak pintar tidak boleh rewel”. Jadilah si kecil menenteramkan orang tuanya yang akan bepergian. Si anak sendiri sebetulnya tidak tenteram ditinggal. Akibat setelahnya bisa berlanjut dengan kerewelan, ”mlekara” (membuat perkara) seharian. Kehadiran orang tua sepertinya mutlak.
Anak ingin pamer pertumbuhan. Mendamba orang tua menyaksikan, memberi apresiasi hingga sentuhan kali pertama. Meski tak jarang menimbulkan kekhawatiran berbuntut omelan. ltu semua tak mungkin terwakili dengan teknologi secanggih GPRS, EMS (Enhanced Messagge Service) maupun 3G. Kanak-kanak belum bisa berlogika apalagi berargumentasi ”cerdas” dalih-dalih duniawi maupun surgawi ala orang dewasa.
Jangankan logika, panca indera pun masih dalam proses untuk berkembang sempurna. Kanak-kanak hanya bisa berimaginasi. Tak terucap. Tapi konkretnya, tak ingin tumbuh besar ”sendirian”. Anak ”rewel” biasanya pintar. Kalau kanak-kanak, apalagi balita, sudah tidak rewel pada orang tuanya, bukannya bangga, ini yang harus jadi tanda tanya.

Purnomo Iman Santoso EI
Villa Aster II Blok G No 10
Srondol, Semarang 50268