Harian Suara Merdeka tanggal 11 April 2017
”BANGSA ini harus bisa
menghargai kegagalan”. Kata kata ini diucapkan salah satu narasumber pada
sebuah acara di salah satu teve swasta yang membahas industri kreatif.
Terasa menyentak karena ke-blaka sutha-annya / keterusterangannya.
Memang,masih banyak yang berpendapat
bahwa gagal itu memalukan,aib,layak dicemooh, bahkan gagal itu kiamat.
Dari sekolah dasar anak sudah dididik harus berhasil. Sebetulnya tidak
salah. Hanya saja orientasi hasil yang begitu ”absolut”
ditanamkan,sampai-sampai kurang seimbang menekankan proses yang benar
untuk mencapainya.
Demi keberhasilan yang sudah jadi
tuntutan sosial, cara cara ”cepat saji”pun dianggap sah-sah saja. Proses
semestinya dianggap kuno.Serba silau meski keberhasilan dengan
ujug-ujug. Penyimpangan,apalagi kegagalan, harus ditutupi kemasan hingga
”pembalut” dengan berbagai alasan pembenar.
Sebetulnya sangat berbahaya karena
mengaburkan kebenaran menjadi pembiaran yang bisa berujung kefatalan.
Jaman berubah.Sekarang pungutan liar harus siap di- OTT.Tak lagi dibalut
sebagai ”sumbangan suka rela tanpa tekanan/susu tante”.Pelakunya
dipecat.Kalau dulu dikemas pakai istilah ”dipindahtugaskan” hingga tour
of duty.
Pencurian uang masyarakat yang dikelola
negara tak lagi ditutupi dengan istilah ”kesalahan prosedur” tapi
korupsi . Dan siap-siap diproses KPK tanpa SP3.Perubahan ini bisa
dimaknai bahwa kita mulai dibiasakan untuk tidak menutupi kegagalan.Ada
pencegahan, mawas diri,sangsi hingga pembenahan.
Anak yang gagal kelas bukanlah aib,
justru mengedukasi untuk berkaca sekaligus memperbaiki diri sejak dini.
Perlu usaha lebih baik lagi. Sebaliknya yang berhasil perlu diketahui
juga proses pencapaiannya. Kalau melalui asah tempa diri,ya bersyukur.
Kegagalan adalah keberhasilan tertunda.
Purnomo Iman Santoso (EI)
Villa Aster II Blok G No 10
Srondol, Semarang