Monday, October 27, 2014

Pengalaman Ganti Nama



Harian Suara Merdeka tanggal 28 Oktober 2014
Pengalaman jelang lulus SMA tahun 1980.Saat itu semua murid diminta menyerahkan data diri a.l akte kelahiran,surat ganti nama,SBKRI.Selang beberapa saat, dipanggil oleh pihak sekolah.Disodori surat ganti nama dan SBKRI milik saya,dan ditanya,”kamu kan sudah ganti nama,ada surat ganti namanya, tapi kok di SBKRI masih ada alias?Kalau ada  alias kan artinya punya dua  nama?Terus nanti diijasah mau ditulis bagaimana?Sudah ganti nama atau sesuai SBKRI?”Melihat saya terbengong oleh berondongan pertanyaan,pak guru mengambil fotocopy SBKRI teman.Ternyata milik teman tersebut tidak pakai “alias”.Tidak bisa jawab pertanyaan, diminta tanya ke orangtua.Ayah, orang awam, mengerutkan dahi  dengar cerita saya. Tergopoh naik sepeda ke kenalan yang dianggapnya paham. Masa itu, pengingkaran asal usul untuk kalangan yang diberi sebutan “nonpri/keturunan” memang hal yang wajib dan sah. SBKRI ada nama alias,khawatir potensi bermasalah besar.Bisa-bisa dicap “tidak nasionalis” dan Warga Negara “sana”.Demi anak,ayahpun kerepotan kesana kemari,sampai akhirnya ketemu jawabnya. Ayah berujar, ”mestinya pihak sekolah tanyanya pada yang buat SBKRI.Kan SBKRI itu bukan ayahmu yang buat”.
Logika Dikalahkan
Yang ditanyakan pihak sekolah logis dan cerdas,tapi salah alamat.Dan masa itu,logika kalah dengan doktrin. Ternyata ada beda waktu penerbitan antara saat di terbitkan SBKRI milik saya dan SBKRI model milik teman. Jelas,ada atau tidaknya “alias” semata karena kehendak penerbit SBKRI.Bukan kehendak orangtua,pastinya.Sepele,tapi perlu bolak balik mencari jawabnya dan repotnya bukan main menjelaskan ke pihak sekolah, meski akhirnya bisa diterima.Tak ada simpati apalagi empati.Bahkan pencerahan duduk permasalahan untuk pihak sekolahpun seperti tak dibutuhkan. Meski semua sudah sesuai ketentuan yang berlaku tapi yang didapat justru komentar berolok-olok memanggil nama alias saya dengan lafaldipelesetkan”. Kepada murid awam,logika sekolah begitu jernihnya.Namun saat tahu itu ketentuan pemerintah(meski jelas tidak logis) tak mampu berpihak bahkan untuk membela kecerdasan dan nuraninya sendiri. Kedaulatan  berpendapat orang awampun diberangus.
Pengalaman diatas sejatinya bertutur seputar masalah kedaulatan.Di komik komik dongeng ada istilah  “daulat rakyatku”  dan istilah “ daulat tuanku”, yang rasanya masih relevan di zaman modern ini.
Purnomo Iman Santoso-EI,
Villa Aster II Blok G no. 10,Srondol,
Semarang 50268