Thursday, April 19, 2012

Masihkah Relevan Menjual Kecepatan?

Suara Merdeka tanggal 19 April 2012 Tayangan Indonesia Lawyers Club beberapa waktu lalu menghadirkan Menteri ESDM, Jero Wacik. Dalam penggalan pernyataannya beliau menyebutkan bahwa ada pertumbuhan ekonomi, dengan salah satu indikatornya produksi sepeda motor 7 juta unit/tahun habis terserap pasar. Di acara TV lain, oleh nara sumber dan topik berbeda, disebutkan pula bahwa produksi mobil 1 juta unit/tahun. Sebagai warga Indonesia, meyakini bahwa angka-angka itu pasti benar adanya dan tanpa mark up, karena jalanan terasa semakin padat dengan cepat dari waktu ke waktu. Berkilas balik, sebelum tahun 1970, sepeda motor masih sangat jarang. Yang sesekali muncul di jalan (karena kebetulan tinggal di desa) sepeda kumbang, motor DKW. Kecepatannya mungkin 40 km/jam. Tahun 70-an, Honda mengeluarkan sepeda motor, serinya saya lupa, tapi cirinya tangki bensin mengkilap, speedometer bulat, kalau tak salah bisa mengukur hingga kecepatan 90 km/jam. Juga ada Vespa. Kecepatan sepeda motor masih relatif tidak sekencang sekarang, meski jalan-jalan masih lengang. Demi keamanan pengendara sepeda motor maupun mencegah polusi (suara dan udara), industri sepeda motor terus melakukan inovasi. Lampu righting, rem, knalpot, speedometer, design, dan konstruksinya menyatu, sehingga tak bisa di-’’preteli’’. Tak berhenti di situ, produksi motor bergeser ke mesin 4 tak, untuk menghindari polusi. Motor mesin 2 tak dengan olie samping, tak diproduksi lagi. Pesan unggulan yang disampaikan melalui iklan adalah tentang irit BBM. Ini langkah positif yang dilakukan industri. Tapi, berapa waktu kemudian iklan sepeda motor menonjolkan sisi kecepatan sebagai unggulan. Kemampuan mesin motor dari sisi kecepatan dan daya jelajah pun meningkat tajam. Motor menjadi sarana transportasi utama dengan jarak tempuh semakin jauh, meski cc-nya kecil. Di Tahun 2012, iseng-iseng melihat speedometer sepeda motor bebek salah satu seri dari merk terkemuka.Ternyata, bisa mengukur kecepatan hingga 140 km/jam. Para top eksekutif produsen sepeda motor, para pembuat peraturan, pernah tidak ya mengendarai sepeda motor produksinya hingga kecepatan 100 km saja, tak usah 140 km/jam di jalan raya kondisi sekarang yang padat, berlubang, bergelombang? Tentunya tanpa pengawalan polisi, biar terasa benar sensasinya. Yang pasti, sekarang kecelakaan mudah dijumpai dan cenderung berakibat fatal. Mencermati kejadian ini, masihkah relevan menjual sepeda motor dengan kecepatan sebagai unggulan? Jalanan semakin padat oleh pemasaran 7 juta unit motor/per tahun plus 1 juta unit roda empat/tahun. Harus dipikirkan sisi keselamatan. Masihkah relevan berkendara dengan kecepatan tinggi di jalanan yang semakin padat merata? Saatnya industri otomotif mereformasi spesifikasi mesin motor, agar sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai sarana transportasi jarak pendek yang tak perlu mesin berkemampuan balap. Dinas terkait juga diharapkan terpanggil dengan menata ulang ketentuan peraturan, demi prioritas keselamatan warga negaranya. Purnomo Iman Santoso-EI Villa Aster II Blok G No 10 Srondol, Semarang 50268



Wednesday, April 04, 2012

Semangat Mobil Esemka

Harian Suara Merdeka tanggal 4 April 2012

Di Indonesia banyak orang hebat. Berita besar akhir-akhir ini yang menarik perhatian saya adalah tereksposnya ke media mengenai kemampuan siswa SMK membuat mobil. Kendaraan yang didesain hingga dibuat dengan didampingi oleh pengusaha bengkel lokal, Bp Sukiyat, harus mengikuti tes sesuai persyaratan resmi. Saya orang yang optimistis, namun terkait tes tersebut saya merasa pasti tidak lulus. Meski doa yang dipanjatkan sebaliknya, namun kenyataan memang mobil tersebut harus uji ulang.

Sebagai masyarakat Indonesia, sangat sadar bahwa mobil tersebut belum sesempurna mobil produksi industri otomotif terkemuka, saya pikir wajar-wajar saja. Tapi, asal sudah memenuhi standard keamanan seharusnya bisa diberi kesempatan untuk diproduksi.

Kenyamanan ditingkatkan sambil jalan, demikian pula emisi gas buang yang terkait polusi, pasti akan ditemukan jalan keluarnya. Bukankah polusi di jalanan tetap tinggi meski jalanan dipenuhi kendaraan yang notabene lulus uji?
Lihat, polisi dan pengendara sepeda motor banyak menggunakan penutup hidung saat di jalanan untuk mengindikasikan bahwa gas CO2 ada di batas yang tidak bisa ditoleransi tubuh manusia. Alarm tubuh sudah ”berdering” berbunyi ”ngik-ngik-ngik” lebih sering karena terjadi sesak nafas, meski sensor di dinas terkait tidak menyala/tidak berbunyi dan menunjukkan mobil lulus uji emisi.

Jerman memproduksi mobil rakyat VW (Volks Wagon = mobil rakyat). Meski juga memproduksi mobil yang lebih sempurna seperti Mercedez Benz, BMW, pemerintah Jerman tetap mendorong produksi mobil VW. Dari suaranya saja VW jauh lebih bising dibanding mobil mana pun di eranya. Jadi VW minimal sudah menghasilkan polusi suara. Namun toch mobil tersebut tetap didukung oleh pemerintahnya, bahkan diekspor ke Indonesia sebagai salah satu negara tujuan. Kita ingat era 70-an mobil VW berwarna oranye, dengan atap terpal dan suara bising menjadi mobil dinas hingga tingkat camat.

Kehadiran mobil esemka di blantika otomotif nasional tentu sangat diharapkan sebagian besar masyarakat Indonesia. Tidak apa kalau kalah nyaman, asal aman. Maklum, harga lebih murah. VW pun mengalami penyempurnaan bertahap. Ketidaknyamanan mobil esemka rasanya akan terlupakan kalau teringat bahwa mobil ini produksi dalam negeri dan sarat spirit berdikari. Di tengah kepungan industri otomotif yang sudah mapan, saya merasakan mobil Esemka terlahir dari rakyat Indonesia yang berkarya dengan semangat ABCD(above beyond call duty = melebihi panggilan tugas). Semangat ABCD sebenarnya banyak dimiliki orang Indonesia. Sayang bila semangat ini dikalahkan oleh ABS (asal bapak senang).

Purnomo Iman Santoso-EI
Villa Aster II Blok G No 10
Srondol, Semarang 50268