Tuesday, November 22, 2005

Gagal Tidak Sama Dengan Kiamat

Harian “KOMPAS” edisi Jawa Tengah , tanggal 22 November 2005

Sangat Setuju ! Setelah baca “Tetap Semangat” tulisan FX Triyas Hadi Prihantoro di Kompas 26-5-2005.Fatal kalau memotret hidup dengan menabukan gagal. Apalagi Televisi memanjakan dengan sinetron serba “surga dunia”, sepertinya memberi andil penyebab kasus bunuh diri siswa.
Persepsi dan perspektif yang benar tentang kegagalan penting untuk siswa,guru dan orang tua.Gagal penting, tidak hanya sukses. Bukanlah ada ungkapan Gagal itu Sukses yang tertunda. Kegagalan itu ujian supaya siswa yang lulus benar-benar seimbang Raga-Rasio dan Rasa nya. Asah rasa tidak cukup hanya dengan pelajaran musik.Inilah problemnya mengapa banyak yang mudah frustasi, suka jalan pintas dan budaya mencari kambing hitam.Karena tidak siap menghadapi kegagalan.
John C Maxwel dalam bukunya yang berjudul Failing Forward menyebutkan: “orang (hanya) berlatih untuk meraih sukses,padahal seharusnya mereka (juga) berlatih menghadapi kegagalan”.

Winston Churchil murid terbodoh no 2 dikelasnya , 2 kali gagal di akademi militer .Namun ia Jendral dan PM Inggris terkemuka didunia.


Purnomo Iman Santoso
Villa Aster II Blok G no. 10,Srondol,
Semarang 50268
Warga Epistoholik Indonesia

Tuesday, November 15, 2005

Karya dan Amal

Harian “KOMPAS” edisi Jawa Tengah , 15 November 2005

Semua mahluk ciptaanNYA diberi kemampuan berkarya untuk bekal hidup. Iklim Berkarya seyogyanya terus didukung. Sayang realita berbeda.
Dari hasil berkarya,kita wajib ingat saudara kita yang sudah berkarya namun belum beruntung, dengan beramal.
Ada pemahaman baru.Amal, untuk mencuci harta. Seolah tak mau kalah dengan program Bantuan Langsung Tunai(BLT) pemerintah, maka berlomba tayangkan sumbang panti asuhan,publikasikan kalau bangun tempat ibadah dan sebagainya.Amal seolah harus dipamerkan agar diketahui dan teruji sebagai yang terbaik.Padahal ,filosofi Beramal adalah tangan kanan memberi,tangan kiri tak perlu tahu.Jadi mestinya tak perlu pamer.Toh Tuhan Maha Tahu.

Purnomo Iman SantosoVilla Aster II Blok G no. 10,
Srondol,Semarang 50268


Sunday, November 13, 2005

Pandemi Konsumerisme

Harian “SUARA MERDEKA” ,13 November 2005

Masa lalu TV dipakai pemerintah untuk propaganda dan indicator keberhasilan pembangunan.Kini , diera reformasi ,masyarakat dibius TV dengan acara yang tidak edukatif.Ada acara reality show dimana pemenang secara spontan belanjakan uang untuk puaskan hasrat konsumtifnya.
TVpun nyala seharian untuk nonton infotainment,sinetron tiada henti mendorong pemirsa ikut gaya hidup yang serba gemerlap. Waktu terbuang sia-sia hanya nonton TV dan ngrumpi ala selebritis. Penghasilan habis untuk bayar listrik,beli pulsa.Makan bergizi,gaya hidup sehatpun terabaikan.
Lembaga keuangan Bukan Bank(LKBB) maupun Bank, tak mau kalah. Memanjakan hasrat konsumtif masyarakat dengan promosi berbagai kredit murah.Pertumbuhan kredit konsumen meningkat pesat.Hebatnya dari produk hingga lembaga keuangan yang siap biayai , semua milik negara lain.Bangsa Indonesia secara sistematis dibina hanya untuk jadi konsumen.
Apa jadinya kalau jutaan anak putus sekolah maupun yang masih sekolah, sebagian besar waktunya hanya untuk nonton TV,main playstation, game. Bukan hanya terabaikan kesehatannya namun juga terbengkalai pendidikannya.Anak2 ini akan tumbuh menjadi pribadi yang lemah fisik dan “sakit” mental.Kurang gizi-rentan penyakit ,berkhayal hidup enak hanya dengan malas2an.Kalau flu burung baru diantisipasi,konsumerisme di Indonesia sudah jadi pandemi.Dimulai dari lingkungan keluarga, mari kita basmi pandemi konsumerisme dengan tonton TV seperlunya dan hanya untuk acara yang bermutu. Gunakan waktu sebanyak mungkin untuk kegiatan produktif,sehat dan bermanfaat.


Purnomo Iman Santoso
Villa Aster II Blok G no. 10,Srondol,
Semarang 50268


Saturday, November 12, 2005

Wabah Konsumerisme

Harian “KOMPAS” edisi Jawa Tengah , 12 November 2005

Di masa lalu TV dipakai pemerintah untuk propaganda dan indicator keberhasilan pembangunan.Kini,diera menjamurnya TV Swasta,masyarakat dibius dengan acara yang tidak educated.Ada acara reality show dimana pemenang secara spontan belanjakan uang untuk puaskan hasrat konsumtifnya.
Lembaga keuangan bukan bank(LKBB) maupun Bank tidak mau kalah.Memanjakan hasrat konsumtif masyarakat dengan apa yang di promosikan sebagai kredit berbunga murah.Dan dengan bangga diinfokan ke media..Pertumbuhan kredit konsumen meningkat pesat.Hebatnya dari produk hingga lembaga keuangan yang siap biayai , semua milik negara lain.Bangsa Indonesia secara sistematis dibina hanya untuk jadi konsumen.

Purnomo Iman Santoso
Villa Aster II Blok G no. 10,Srondol,
Semarang 50268
Warga Epistoholik Indonesia


Thursday, November 10, 2005

Film Dokumenter

Harian “KOMPAS” edisi Jawa Tengah ,10 November 2005

Film “Pengkhianatan G30S/PKI” dibuat dengan biaya besar ,bagai film kolosal yang pernah ada di Indonesia.Film ini dulu selalu dipenuhi penonton sebab siswa sekolah wajib menonton dengan tiket diskon.
Riri Reza-Mira Lesmana mengangkat ke layar lebar,“Gie”.Salut pada mereka sebab kisah Soe Hok Gie yang terpanggil menjadi demonstran karena kepedulian pada bangsanya meninggal diusia muda secara bersahaja.
Dengan latar belakang Soe Hok Gie ini,sutradara dan penyandang dana hanya ingin menyuguhkan sisi lain untuk lengkapi sejarah riil bangsa.

Bangsa dan generasi muda perlu kisah perjalanan bangsa yang riil,tanpa manipulasi,untuk bahan instropeksi agar kedepan menjadi lebih baik.


Purnomo Iman Santoso
Villa Aster II Blok G no. 10,Srondol,Semarang 50268
Warga Epistoholik Indonesia

Aslinya sbb :
Kepada yth,
Redaksi Harian “KOMPAS”
Jl.Mentri Sumpeno No.30
S E M A R A N G

Film Dokumenter
Film “Pengkhianatan G30S/PKI” dibuat dengan biaya besar ,bagai film kolosal karya akbar sutradara Indonesia yang pernah ada.Dulu,film ini selalu penuh penonton.Diantaranya karena siswa sekolah wajib tonton dengan karcis discount.
Riri Reza-Mira Lesmana mengangkat ke layar lebar “Gie” .Ada rasa salut kepada sutradara ini.Mengangkat kisah Soe Hok Gie yang terpanggil menjadi demonstran/aktivis mahasiswa karena kepedulian pada bangsanya. Meninggal diusia muda secara bersahaja. Bukan aktivis yang jadi menteri ataupun tokoh di birokrasi yang akan enteng rogoh kocek demi biografi untuk sanjung diri dan dengan mudah beri konsesi yang diingini sang sutradara.Dengan latar belakang Soe Hok Gie seperti ini , sepertinya sutradara dan penyandang dana hanya ingin suguhkan sisi lain untuk lengkapi sejarah riil bangsa.Bahwa dikemas secara komersial ,itu Sah-sah saja.
Salut atas semangat,idealisme dan niat sutradara,murni berkreasi secara professional dengan tetap jaga reputasi.Tapi,tidak mudah cari orang2 seperti ini. Belum lagi penyandang dana yang idealismenya sama dengan sutradara. Dana sering menjadi tembok penghalang wujudkan idealisme karena bisa pertaruhkan Integritas, membius sutradara untuk berkisah meliuk-liuk karena pesan sponsor dan kepentingan sempit.
Bangsa dan generasi muda perlu kisah perjalanan bangsa yang riil,tanpa manipulasi sejarah, untuk bahan instropeksi agar kedepan menjadi lebih baik. Sebagai jalan keluar ,bagaimana kalau kebutuhan ini dipenuhi dari film dokumentasi nyata hasil shooting TV swasta domestik ,diputar di stasiun2 TV setiap tanggal terjadinya seperti dicontohkan di film G/30/S dulu. Bedanya ini film dokumenter.Untuk editing agar sesuai standar etika dan estetika sinema, bisa libatkan sutradara professional bereputasi bagus. Peristiwa Tanjung Priok, 27 juli 1996,Kasus orang hilang,Tragedy Mei,Trisakti,Semanggi,Munir dll bisa ingatkan bangsa ini untuk selalu mawas diri,tidak terulang dan bekal melangkah maju wujudkan cita2.Effisien,effektif, tetap utuh,tak ada lagi kambing hitam.

Semarang , 02-10-2005
(Purnomo Iman Santoso)
Villa Aster II Blok G no. 10,Srondol,Semarang 50268
Warga Epistoholik Indonesia