Monday, August 26, 2013

"Pertamini"

Harian Suara Merdeka tanggal 26 Agustus 2013

Pada Maret 2013, saya ziarah leluhur ke Pantai Widara Payung Kroya. Dari Semarang mobil (Panther) diisi solar penuh. Menjelang Karanganyar Gombong mau isi solar kembali karena tangki tinggal setengah. Antrean panjang terjadi. Karena saya perhitungkan akan terlalu lama, untung-untungan saya tak jadi isi solar dan  melanjutkan perjalanan. Beruntung di Tambak ada SPBU Pertamina yang baru menerima kiriman solar dan bisa mengisi bahan bakar di urutan pertama. Lega rasanya, tangki bahan bakar kembali terisi penuh. Selesai dari Pantai Widara Payung melanjutkan perjalanan ke Cilacap.
Petang hari, dalam perjalanan pulang, saya mencoba mengisi solar kembali. Luar biasanya, dari dalam Kota Cilacap hingga Banyumas, ada sekitar 8 SPBU yang kami singgahi, semuanya persediaan solar habis. Bepergian ke luar kota dengan kendaraan berbahan bakar solar Maret-April 2013, menjadi lebih meletihkan. Bahkan, di dalam kota pun bisa merepotkan.Tanpa kecuali angkutan umum, yang kebanyakan berbahan bakar solar.
Dari petugas SPBU diperoleh informasi karena pasokan solar bersubsidi ada pengurangan pengiriman. Pernah suatu hari, tangki solar sudah sangat menipis. Meski di dalam kota, banyak SPBU Pertamina yang kehabisan solar. Sampai akhirnya di SPBU Gombel, tinggal satu kilometer dari rumah pun habis.
Kenapa tidak kami isi dengan Pertamina Dex? Masalahnya, disamping harganya dua kali lipat lebih (toh kalau kepepet ya tetap di beli), juga menjadi pelik karena tidak semua SPBU menyediakan Pertamina Dex. Petugas SPBU yang ditanya juga tidak selalu bisa menunjukkan dimana SPBU yang menjual Pertamina Dex. Kalau ada yang tahu, jaraknya jauh.
Pernah di SPBU daerah Purworejo Klampok, saya mau beli solar ternyata habis. Tanya Pertamina Dex, ternyata tak menjual. Petugas menginformasikan bahwa Pertamina Dex adanya di SPBU Banjarnegara, sekitar 30 km lagi. Ternyata selalu ada solusi di saat sulit. Saat SPBU Pertamina banyak memasang papan pemberitahuan ’’solar habis’’ ternyata bila jeli ada yang aneh. Seperti terinspirasi mini market. Di luar kota bermunculan penjual solar eceran di sepanjang jalan raya. Harga lebih mahal, tapi apa boleh buat, daripada kehabisan bahan bakar. Jadi terasa menggelikan. Saat SPBU Pertamina banyak kehabisan solar, ternyata muncul ’’SPBU Pertamini" yang siap melayani pembeli, siapa saja yang membutuhkan solar. Sekarang setelah harga BBM naik, dan solar melimpah, ’’SPBU Pertamini" pun menghilang. Simple sekali.
Purnomo Iman Santoso-EI
Villa Aster II Blok G No 10
Srondol, Semarang 50268


Tuesday, August 13, 2013

Ambang Batas

Harian Suara Merdeka tanggal 13 Agustus 2013


Saat hadir di acara peringatan ulang tahun ke-10 Wisma Kasih Bunda, 1 April 2010, saya mendapatkan buku yang berisi kiprah wisma tersebut. Isinya foto bayi, anak-anak, hingga dewasa yang masih maupun sudah mantan pasien. Banyak kisah para mantan, pasien wisma, dan relawan yang menyentuh.
Tentang anak bernama Viven, usia sekitar 2 tahun, pasien atreciaany (kelainan lubang dubur) dari Nias. Juga mengenai Suster Klara Duha OSF yang berjuang begitu dramatis dari Nias mengarungi laut menggunakan kapal dari Pulau Hibala ke Pulau Telo, lalu menuju Teluk Dalam hingga perjalanan darat dan udara ke Medan, Jakarta, untuk membawa Viven sampai di Wisma Kasih Bunda (WKB) Semarang. Sungguh, suatu kisah dramatis yang menggugah empati.
Hanya saja, karena punya pengalaman pribadi, meski tak sedramatis kisah itu, namun karena mengalami sendiri atau praktik langsung menghadapi masalah kesehatan saat (anak-anak) masih balita, kisah-kisah itu seolah hanya menjadi bekal pribadi agar lebih siap membuat estimasi untuk menata hati, saat mendengar ataupun menyaksikan kisah-kisah sejenis.
Kesiapan ini bahkan tak jarang malah menganggap suatu kejadian sebagai suatu hal yang biasa. Kadar empati berubah menjadi sekedar simpati. Dari hati bergeser ke kepala. Tetap ada sentuhan, namun telah berhasil dikelola otak untuk dimanipulasi menjadi lebih moderat. ”Ah... saya sudah mengalami itu. Biasa, problem anak balita.”
Selang berapa waktu, kembali mendapat undangan untuk menghadiri suatu acara di wisma. Segera terbayang akan bertemu pasien dengan aneka masalah kesehatan seperti dikisahkan di buku. Tak nyaman dengan suasana sedih. Jujur, saya pingin menolak. Meski dengan pikiran terbebani, toh langkah terayun juga. Akhirnya datang juga ke acara tersebut.
Tak sengaja mata tertumbuk pada seorang gadis mungil bermata terang yang sedang digendong relawan. Berawal dari tidak berbasa-basi, dengan iseng saya ngomong. ”Wah anak ini kok matanya terang banget ya”. Dari perbincangan dengan relawan, ternyata si mungil bermata terang bernama Viven. Lho...? Bukannya kisah anak ini yang saya baca di buku HUT WKB? Betul, jawab suster relawan.
Dia bercerita bahwa besok, Viven akan pulang ke rumah orang tuanya di Nias. Dari empati bergeser ke simpati, kemudian lebih netral, menjadi  merasa ikut senang. Ikut senang karena sudah boleh pulang ke Nias, berarti sudah sembuh. Viven yang semula tenang dalam gendongan, mendadak mulai gelisah, rewel, dan mulai menangis. Awalnya saya pikir anak ini mengantuk atau juga pingin turun dari gendongan (biasa kan anak sudah sehat, pikir saya). Namun ternyata tidak.
Viven terus menangis. Saya teringat, tangan kecilnya mencengkeram erat tangan sang relawan dan matanya menatap lekat-lekat wajah relawan yang menggendong. Tangisnya seperti bermakna ada kesedihan mendalam yang tak terungkap, sekali pun diurai dengan rangkaian kata orang dewasa. Seorang ibu dari pasien ikut menenangkan, namun tangisnya ternyata bukanlah sekedar tangis anak rewel.
Ada kesedihan mendalam. Viven tampaknya tak mau berpisah dengan relawan yang sudah dianggap sebagai orang tuanya sendiri. Orang tuanya nun jauh di Nias mendampingi Viven dalam doa-doa untuk kesembuhannya. Tapi, para relawan mendampingi secara tulus dan sepenuh hati saat Viven dihimpit sakit menjalani operasi demi operasi. Ambang batas toleransi untuk berempati yang telah ditata di hati dan pikiran saya agar proporsional dan  terukur, terasa jebol berantakan. Meski tidak larut dalam suasana sentimental, tapi jadilah menyatu ke perasaan anak balita bernama Viven.
Setiap orang pasti mengalami sedikit kejadian yang menembus, menjebol ambang batas toleransinya untuk berempati karena semua estimasinya untuk menata hati ternyata meleset jauh. Kenapa dipertemukan dengan Viven yang esoknya mau pulang? Kenapa anak ini mendadak rewel? Tampaknya karena mendengar perbincangan bahwa hari itu adalah hari terakhirnya dengan para relawan yang mengasihi sepenuh hati. Itu misteri, karena terjadinya serba spontan. Bulan ini, Juli 2013, genap 3 tahun pertemuan saya dengan Viven. Mudah-mudahan Viven sudah sehat, dan tumbuh bahagia bersama orang tua, dan bisa beraktivitas normal seperti anak-anak sebayanya di Nias sana.
Purnomo Iman Santoso-EI
Villa Aster II Blok G No 10
Srondol, Semarang 50268